…ketika cita-cita tercapai…

Waktu gue SMP, ketika gue ditanya apa cita-cita gue, gue bilang kalau gue ingin keliling Indonesia, ke 27 provinsi (Ya! Indonesia di akhir 80an cuma punya 27 provinsi, gak 34 kayak sekarang). Gue pengen jadi pemandu wisata supaya gue bisa keliling Indonesia gratis, hahahaa. Gue merasa kalau dalam hal cita-cita, gue bukan kayak anak alay pada umumnya yang suka berubah haluan. Masuk SMA, memang gue ada keinginan untuk menjadi arkeolog. Tapi alasan di balik itu juga supaya gue bisa menjelajah Indonesia dan mencari benda-benda purbakala, menelisik sejarah Indonesia di masa lalu. Masih ada hubungannya dengan berkelana di daerah-daerah di Indonesia. Sayangnya, guru sejarah gue memberi gue kenyataan pahit, bahwa menjadi arkeolog di Indonesia itu tidak akan pernah dihargai dan tidak akan menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Tapi, terima kasih lho, bu! Karena apa yang ibu katakan tentang profesi arkeolog itu benar adanya.

Kembali lagi ke cita-cita gue untuk jadi pemandu wisata, ok? Sebagai orang tua yang baik, maka pas gue mau naik kelas 2 SMA, bapak ibu gue mencari tahu sekolah yang cocok untuk mewujudkan cita-cita gue itu. Akhirnya didapatlah satu sekolah, namanya Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, dan gue diberi tahu mengenai sekolah ini sama bapak dan ibu. Pas liburan kenaikan kelas, gue diajak mereka ke Bandung untuk melihat langsung sekolah ini. Gue benar-benar makin yakin untuk sekolah di STPB setelah gue lihat langsung dan mengagumi betapa kerennya seragam mahasiswa di situ.

Singkat cerita, gue sekolah di STPB walau tidak di jurusan pariwisata sesuai keinginan gue karena bapak maunya gue ambil D-IV perhotelan. Setelah lulus, gue pun tidak kerja di industri perhotelan karena pas gue lulus, Indonesia lagi dilanda krismon. Jadi alih-alih merekrut pegawai, industri tersebut malah kembang-kempis, berusaha bertahan hidup dengan memecat banyak karyawan. Gue pun banting setir, bekerja di bidang yang tidak sesuai cita-cita, bahkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Satu hal yang amat sangat gue syukuri bahwa gue kuliah di STPB itu adalah, sekolah ini sangat menempa mental gue, membuat gue nggak kaget akan dunia kerja. Jika dibandingkan dengan lulusan universitas lain, lulusan STPB angkatan gue dan beberapa tahun di bawah gue, masih terbilang bermental baja, bisa ditempatkan di segala situasi, nggak cengeng kayak anak-anak milenial yang bentar-bentar ngadu ke orang tuanya terus orang tuanya menghadap sekolah dan petantang-petenteng (bahkan orang tua yang lulusan STPB itu lebih bermental baja dalam mendidik anaknya, nggak kayak orang tua lainnya yang rempong, yang rumpian, yang bentar-bentar ngatur sekolah anaknya #kenyataan #alumnienhaiijuwarak #maapkalocarigaragara  #makanyajangansukapostingdimedsosbiargakkeliatankalolorempong).

Tapi, bukan berarti bekerja di bidang yang tidak gue sukai sama dengan mengubur cita-cita gue untuk keliling Indonesia. Gue masih meluangkan waktu untuk berlibur menikmati keindahan Indonesia. Terutama setelah gue tidak bekerja kantoran lagi, gue punya fleksibilitas waktu yang sangat tinggi, memungkinkan gue untuk berilbur kapan saja gue mau, selama anggaran liburannya sesuai, hahahaaa (ini penting!). Gue berlibur bisa sendiri saja, bersama ibu, beberapa teman dekat, atau bahkan sekumpulan teman yang benar-benar gue baru kenal saat mau berilbur.

Akhirnya pada Juni lalu, gue pun bisa mencapai keinginan gue untuk menjejakkan kaki ke 34 provinsi yang ada di Indonesia. Gue sendiri merasa kalau tempat-tempat yang gue datangi itu masih tergolong destinasi mainstream, walau ada beberapa tempat yang memang cukup anti-mainstream karena perjalanannya cukup melelahkan atau memang tidak banyak yang tahu bagaimana menuju ke destinasi tersebut.

Jika ditanya tentang perasaan gue setelah mewujudkan cita-cita gue, tentu gue akan jawab kalau senang luar biasa. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan proses dalam mewujudkan cita-cita itu. Menikmati tempat-tempat indah Indonesia; berkomunikasi dengan warga setempat; melihat lingkungan yang kadang cukup membuat miris dan berkata dalam hati, “Seandainya gue punya duit banyak, gue akan…”; segala pengalaman mengesankan, mulai dari pengalaman baik, buruk, menegangkan, hampir mati, lucu, semua itu yang menurut gue lebih penting untuk diingat dan dirasakan.

Ada yang bertanya ke gue, mana tempat yang paling bagus dari semua tempat yang sudah dikunjungi. Terus terang gue nggak bisa jawab, karena Indonesia ini surganya tempat-tempat indah. Memang ada tempat yang biasa saja, yang hanya terlihat bagus dalam foto, tapi itu hanya sebagian kecil. Yang jelas, laut Indonesia itu sungguh sempurna! Itulah mengapa hingga detik ini, gue tidak pernah mau yang namanya berlibur ke pantai/laut di luar negeri, karena tidak ada yang menyamai keindahan laut Indonesia. Gue bahkan pernah satu minggu di Hawaii (gue bahkan lupa nama pulaunya), dan tidak satu kali pun gue menjejakkan kaki di pantai mereka yang konon kata indah dan wajib didatangi itu, hahahaaa.

Indonesia itu surganya keindahan alam. Walau tak jarang harus merogoh kocek lebih dalam untuk datang ke tempat-tempat tersebut dibandingkan pergi keluar negeri, tapi gue lebih puas jika gue pergi ke tempat tersebut dibandingkan keluar negeri. Mungkin nasionalis gue receh, tapi dengan berilbur, gue sangat bersyukur kalau gue dilahirkan sebagai orang Indonesia, negeri super kaya ini, dan bertekad untuk berkontribusi membangun negeri ini, entah bagaimana caranya.

Jadi, pergi ke mana lagi kita?

…hanya dua digit…

Pukul 6 pagi. Mata mengerjap beberapa saat sembari mengumpulkan nyawa, melihat ke tempat tidur, kemudian kembali melihat jam dinding.

Hari ini, 31 Juli, dan gue bangun pagi di kamar tidur sendiri.

Buat gue yang sudah sekian lama tidak pernah ada di rumah saat ulang tahun, bahkan terakhir kali merayakan ulang tahun itu hampir 10 tahun yang lalu, apa yang gue alami pagi ini sedikit janggal. Gue diberi ucapan selamat ulang tahun, dicium ibu juga kakak gue di pagi hari.

Nggak ada yang spesial di hari ini selain gue bilang ke ibu kalo gue mau masakin dia. Gue mau masak nasi liwet biru dan tumisan isi kemangi, teri & tomat ijo.

Percakapan di malam Minggu

Ya itung-itung kasih ide dia buat ngado deh, daripada kayak tahun lalu, ujug-ujug kasih kalung. Sampe saat ini, gue tanya ibu beli kalung di mana, siapa yang nganterin, nggak mau ngasih tahu juga, cuma cengengesan. Jadi daripada dia keluar duit beli kado, mending suruh buatin bacem, hahahaaa… MURAH!

Setelah berkutat selama hampir 2 jam di dapur, masakan pun siap disantap. Saat sarapan ini pun, cukup “lucu” buat gue, karena sudah cukup lama gue menghabiskan sarapan di hari pertama bersama orang-orang yang sama sekali nggak tahu kalau gue ulang tahun di hari itu, tapi pagi ini, gue sarapan sama ibu. Ada sesuatu yang hilang dari ketidakhadiran orang-orang tak dikenal itu.

Serbuuuu….

Membalas ucapan-ucapan yang masuk via WAG juga salah satu yang nggak biasa buat gue, karena tempat gue melipir di ulang tahun itu biasanya tak bersinyal atau beda zona waktu. Untungnya, gue sudah ubah pengaturan di FB. Jadi ketika gue cek FB, hanya ada satu orang yang ingat ulang tahun gue, Doksin. Padahal Doksin ini baru gue kenal 6 bulan yang lalu.  Benar-benar di luar dugaan. Fitur ulang tahun di akun medsos lainnya, Path dan Twitter, tidak pernah gue aktifkan sejak semula.

Selain Doksin di FB, ada beberapa teman yang di luar dugaan gue, mengirim pesan ucapan ulang tahun pribadi di WA, bukan melalui grup. Senang, sudah tentu. Tapi lebih dari itu, membuat gue berintrospeksi, kenapa gue nggak bisa seperti mereka? Umumnya gue mengirim ucapan di grup atau FB karena ada notifikasi atau karena ada yang sudah duluan kirim ucapan. Terima kasih sudah memberi gue pelajaran bermanfaat hari ini ya!

Berhubung besok mau liburan, jadi siang ini gue pijat seluruh badan. Secara ya, gue bakal pergi 2 minggu. Nggak lucu banget kalo baru hari pertama tapi udah remuk. Pas banget setelah pijat, tetehku tersayang datang. Dia bawa kue sebagai kado ulang tahun. Yeaaaayyy…

Pada saat nulis, yang tersisa tinggal satu, haha…

Terharu, ampe bela-belain datang ke rumah selepas dia ngajar di Gandaria, padahal rumahnya di Pejaten. Tapi gue rasa juga karena dia kangen gue banget deh, secara sering banget mimpinya ada gue dan Beezers lainnya, hahahaa… Tapi gue seneng teteh bisa mampir ke rumah. Dia ini udah jadi semacam kakak buat gue. Dan selayaknya kakak, ya suka jadi korban bully dan tempat sampah, tempat gue buang kekesalan. Teteh ini jadi peredam gue, dan secara tidak langsung, berkontribusi cukup banyak untuk mengubah gue jadi orang yang lebih sabaran dikiiiiitttt…

Makasih teteh tersayang, teh Pipih, eh teh Fifiiiiiiiiiiiii…

Sekarang jam 19:00, berarti gue sudah 41 tahun 1 jam berada di dunia ini, menghirup udara yang diberikan Tuhan secara gratis.  Terima kasih Tuhan atas segala yang sudah diberikan ke gue dan keluarga ini. Terima kasih atas jalan hidup yang digariskan ke gue. Nggak ada satu pun yang akan gue sesali karena semua sudah diatur oleh-Mu.

Terima kasih untuk semua teman yang memberi ucapan dan memberi doa-doa yang sangat baik. Semoga kita semua selalu berada dalam lindungan-Nya, diberi kesehatan, kebahagiaan dan rezeki melimpah ruah agar selalu bisa berbagi dengan sesama. Semoga kita juga selalu menjadi orang yang ingat akan diri-Nya, dan ingat bahwa suatu saat, kita akan menemui Sang Pencipta. Semoga bekal kita sudah cukup banyak saat harus menghadap-Nya.

Aamiin ya rabbal alamin…

…mabuk agama = mabuk miras…

Mabuk agama itu sama dengan mabuk miras.
 
Orang yang diajak ke suatu pesta dan pertama kalinya ditawari minum miras, pasti akan memberikan reaksi yang berbeda. Mulai dari, “Nggak, makasih ya.”, “Gue coba dikit aja ya”, “Pahit banget! Ada yang lebih manis nggak?” sampe “Boooo, ini enak bangeeettt!”. Buat mereka yang pertama kali mencoba lalu merasakan tidak enaknya, pasti berkesimpulan bahwa semua miras rasanya sama. Kemudian ia memutuskan untuk tidak lagi mencobanya. Sementara buat yang penasaran, pasti akan mencoba berbagai minuman sampai ketemu yang enak. Ada juga yang udah langsung dapat enaknya, dia akan memberikan segelas minumannya ke temannya untuk ikut mencicipi.
 
Begitu pula dengan mabuk agama.
 
Berbagai reaksi pasti akan diberikan oleh orang yang diundang untuk pertama kalinya datang ke suatu kelompok yang mengkaji teori atau ajaran agamanya agar mengenal agamanya lebih dekat. Mulai dari rasa skeptis, enggan, datang hanya untuk menghormati si pengundang, hingga menikmati acara dari awal sampai selesai. Keputusan yang diambil pun juga beragam, mulai dari sebisa mungkin menghindari si pengundang sampai mengajak orang lain untuk datang ke kajian agama bersamanya.
 
Efek yang ditimbulkan dari mabuk miras dan mabuk agama ini kurang lebih sama. Mulai dari yang asyik sendiri dengan joget diiringi musik, ngoceh tanpa henti ke semua orang yang dilihat padahal belum tentu kenal, sok tenang tapi tahu-tahu muntah tanpa lihat tempat, sampai ada yang beringas lalu ngajak berantem semua orang yang menurutnya beda, ditambah lagi, ngajak temannya yang sama-sama sedang mabuk untuk ikut berantem dengannya tanpa tahu duduk persoalannya.
 
Mabuk agama juga begitu.
 
Ada yang sibuk menasihati temannya tanpa diminta, ada yang asyik sendiri meneruskan pengetahuan yang barusan didapat, tapi ada juga yang kasar, mengajak ribut semua orang yang berseberangan dengannya, sampai memprovokasi orang tidak dikenal tapi memiliki kesamaan pandangan dengannya untuk ikut bersamanya, memberantas yang berseberangan dengan mereka. Ini semua karena rasa nikmat yang diperoleh.
 
Tapi ada satu hal signifikan yang membedakan mabuk miras dan agama.
 
Kalau mabuk miras sudah pasti ada jangka waktunya, sudah tertebak dari mulai minum, naik enaknya, benar-benar menikmati sampai waktunya sadar lalu kembali beraktivitas. Lalu, mabuk miras ini tidak terjadi setiap saat. Umumnya kalau lagi berpesta merayakan kegembiraan saja. Sehingga waktu mulai minum sampai selesai itu hanya dalam hitungan jam saja. Langka sekali menemukan orang yang berpesta miras 1×24 jam.
 
Sementara mabuk agama ini sulit ditebak karena tahapan orang mulai mendapat pengetahuan dan merasakan kenikmatannya itu beda-beda. Jadi bisa saja, ada yang baru mulai, ada yang sudah mulai bisa menikmati, tapi ada juga yang sudah di tahap efek mabuk, mulai dari yang standar sampai yang reseh dan tidak bisa ditoleransi lagi.
 
Menurut gue, mabuk miras dan mabuk agama itu sama sekali tidak ada bedanya. Para pemabuk itu sama-sama ingin merasakan kenikmatan yang abstrak selama mungkin. Walau ada kemungkinan kecil mereka tahu bahwa yang dilakukan tidak sesuai dengan norma, bahwa apa yang berlebihan dan memabukkan itu tidak benar, tetapi namanya juga sedang mabuk, pasti sulit untuk berpikir logis.
 
Sekarang terserah Anda, mau mabuk miras, mabuk agama, atau tidak mabuk di dua-duanya?

…are you a lesbian?…

Pertanyaan itu beberapa kali dilontarkan ke gue oleh beberapa orang dan di rentang waktu yang berbeda jauh. Untung gue orangnya nggak tersinggungan, jadi gue hanya tertawa waktu ditembak pertanyaan seperti itu. Mereka justru gue tanya balik, kenapa mereka sampai ada pikiran begitu. Satu orang bilang, karena penampilan gue yang cenderung seperti laki ditambah dengan sifat gue yang cuek dan bebas lepas. Tapi ada juga yang jawab karena di akun medsos gue, tidak ada satu pun foto-foto gue bersama teman dekat lelaki. Asli, gue tertawa ngakak.  Gue bilang ke mereka, walau gue punya beberapa teman yang lesbian, tapi gue masih suka laki. Suka banget 🙂

Terus terang gue maklum, karena di usia gue yang udah kepala 4 ini, mungkin sebenarnya banyak yang ingin bertanya kapan menikah dan kenapa gue belum menikah. Gue sendiri nggak heran kalau mereka cepat mengambil asumsi seperti itu. Pertama, walau sudah mengenal lama, tapi ya hanya bertegur sapa di dunia maya, berbicara tentang pekerjaan dan topik-topik ringan. Kedua, gue memang orang yang nggak suka mengumbar foto-foto dengan pasangan. Nggak usahlah foto dengan pasangan, foto diri aja jarang. Dan nggak usahlah foto, wong gue lagi pacaran ama siapa aja, yang tahu pun hanya segelintir teman dekat karena menurut gue, nggak seisi dunia ini perlu tahu kehidupan privasi gue. Masih banyak hal-hal lain yang perlu dibagi, tapi bukan kehidupan pribadi gue yang satu itu.

Gue tidak akan berkata jelek tentang orang-orang yang hanya melihat penampilan luar, karena ya memang begitu gambaran mayoritas manusia. Begini deh, seberapa sering kalian berkesimpulan bahwa cewek merokok di ruang publik itu pasti cewek yang nggak benar pergaulannya apalagi yang berjilbab? Atau seberapa cepat kalian menyingkir karena melihat cowok bertato seluruh badan dan berambut punk? Gue tidak menyangkal bahwa gue tidak pernah menilai orang dari penampilan luar. Gue pun menyadari, bahwa apa yang gue lakukan itu salah. Makanya, gue berusaha untuk tidak melakukannya sesering mungkin dan berusaha untuk cenderung tidak peduli, apabila gue tidak bisa menanamkan prasangka baik akan orang tersebut.

Bukan hal yang sulit untuk dilakukan, karena inti semua itu adalah kebiasaan. Biasakan untuk tidak melihat penampilan luar. Biasakan untuk mengenal lebih dalam orang tersebut sebelum mengambil kesimpulan apa pun. Dan biasakan untuk lebih menahan diri.

Gue berterima kasih sama kalian yang sudah berani jujur bertanya ke gue, karena di balik pertanyaan itu, gue tahu kalian sayang dan perhatian sama gue. Kalian justru membuat gue untuk berintropeksi dan berdialog dengan diri. Tapi sekali lagi gue mau bilang kalau gue masih doyan banget ama laki 😉

…do you take a selfie?…

I’m pretty sure that most people these days, particularly those who have a social media account, take a selfie. What makes it different is how many selfie in a day that you take? Me and my inner circle, we have one thing in common. We rarely take a selfie. That is why, when we see our friend in our newsfeed/ timeline, having a selfie for more than 3 times a day throughout the year, it’s too much for us. Especially when we think they have no other pose and all of those selfies are taken only from one angle because well, they think it’s their best angle.

But, those people too that make us to have this kinda challenge. We, people who rarely take a selfie, challenge ourselves to take a selfie for 3 times a day in a week with a hashtag #selfiesehari3x and to make it more fun, we wanna do it with a theme.

This below collage is our starter, taken this noon in between their activities. Clockwise from left to right, top to bottom. Ayu is just finished eating in her car, Dewi is in her house in Auckland, Iting is ready to go to bed somewhere in Peru,  Merry is using her old picture (but actually, her looks doesn’t change at all), me while riding an Uber on the way home and Chika eating her lumpia to make Dewi drools and crave for it.

It’s not our friends that become our concern. We don’t care if they’d fed up with us because even we fed up with our friends who overdose in doing their selfie, we still keep them as our friends. But it’s ourselves that we mostly concern about. Can we do this challenge? Three selfie a day in a week is not an easy task.

May we pass this challenge 🙂

..can we be like him ?..

..dah tau lagi mellow krn kekalahan italia, dapet forwardan imel beginian dari temen gue, makin menjadilah gue, berkaca-kaca gitu, whoaaaaaaa…

“>“>
“>Apa yg diutarakan beliau adalah Sangat Benar. Silahkan baca dan dihayati.
“>
“>“>
“>
“>Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam,Pak Suyatno 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun.
“>“>
“>Setiap hari pak suyatno memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.
“>“>
“>Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak bisa menanggapi,Pak Suyatno sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.
“>“>
“>Pada suatu hari ke empat anak suyatno berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan Pak Suyatno memutuskan ibu mereka dia yg merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya berhasil.
“>“>
“>Pak Suyatno menjawab hal yg sama sekali tidak diduga anak2 mereka.” Anak2ku ……… Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah….. .tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian.. sejenak kerongkongannya tersekat,… kalian yg selalu kurindukan hadir didunia ini dengan penuh cinta yg tidak satupun dapat menghargai dengan apapun. coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini.
“>“>
“>Sejenak meledaklah tangis anak2 pak suyatno merekapun melihat butiran2 kecil jatuh dipelupuk mata ibu Suyatno.. dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu.. Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa2.. disaat itulah meledak tangis beliau dengan tamu yg hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru disitulah Pak Suyatno bercerita.
“>“>
“>Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama.. Dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehat pun belum tentu saya mencari penggantinya, apalagi dia sakit,,,”

..perjalanan ke kantor tadi pagi..

Otw ke kantor, gue sempet gak sabaran berada di belakang mobil great corolla hijau, secara dia lambat banget.. akhirnya, gue salip aja itu mobil, eeeeeh, pas disalip, dia agak melaju, hmmm, makin jengkel, jadi gue lebih tancap gas and langsung seeeeeeet, berada di depannya. Pas ngeliat lewat kaca spion, ternyata yang nyetir udah opa-opa gitu, hmmm, langsung merasa bersalah karena sebelum nyalip, gue yang klaksonin berulang kali. Tiba-tiba gue mikir, sebenarnya, sampai usia berapa siy, sewajarnya orang itu nyetir kendaraan? Regardless itu motor ato mobil.. I mean, semakin tua kan refleks kita semakin lambat, tapi kendaraan di jalan itu semakin lama semakin ganas. Emang siy, gak ada tuh yang namanya “SIM seumur hidup” kayak KTP, tapi belum perna ada, kejadian polisi menolak orang utk memperpanjang SIM, secara ibu gue yang udah umur 61 aja, pas nemenin gue ke Polres Jaksel utk memperpanjang SIM, juga persuaded by them to extend her license.

Dan akhirnya, pikiran gue kembali ke opa itu & mencoba mencari-cari berbagai alasan kenapa opa itu mesti nyetir sendiri…

Hmmm…..

..enlightment..

You can get enlightment from anywhere, that’s one thing I know for sure..

Last saturday nite, my best friend told me that she broke up with her 2-years boyfriend last week, while they are planning to get married next year. Intinya, her boyfriend told her that he’s not ready to get married (and he’s 33 y/o but still not ready ? Gee..) and he told my friend to go find another guy who’s willing to marry her next year. He told her that she’s pushing her and she ruins everything that they already built for these past 2-years. He said that he loves her deeply but he’s not ready to be settled. And he said it on the phone cause he was busy playing pool, while she thought he was busy working (hmmm, i wonder what her reaction would be if she were me, yang baru sehari break up tapi ternyata dia udah “maen gila” ma cewek lain.. Apa kata dunia ? )

Anyway, my mission on that nite was to give her strength & to forget the burden she had eventhough for one nite. Jadi yah, sebagai teman yang baik, I gave her shoulder to cry on, ears to listen to her stories and on the other hand, I’m so thankful that I don’t need to go through a longtime relationship to get disappointment from a guy which in the end, being hurt over and over again. So, let’s move on and get over it (1st enlightment)

Last nite, I hang out with my 2 good friends @ Citos, jadwal rutin tiap minggu sore, ngopi2x utk relaksasi pikiran & fisik. Gak berapa lama, ada 1 orang lagi yang dateng, and kita ngobrol2x mulai dari yg gak penting kayak gosip artis & acara tv ampe kehidupan masa kini & datang. Ada satu hal yg menurut gue, mereka ngomongnya sambil lalu tapi cukup membuka mata. They said, that someday, when we look back to our love life and looking back to the grieving moment, we will laugh at it and said “why in the hell we let ourselves be in that moment ?” So on the way back home, while driving my car, I kept thinking about it and then confirm that they were right. (2nd enlightment)

Pagi ini, ketika gue udah mau nyampe kantor, di Indika lagi muter lagu dari D’Sound and gue lupa judulnya, yg jelas ada kalimatnya begini “every goodbye is a new hello” and I was, daaaaamn, that was absolutely right. It’s time to really say goodbye to the past and say hello to the future. What has happened is a history, take a lesson from it and now it’s time to go find a better future (3rd enlightment)

Now it’s time for me to go back to work. Happy Monday everybody

..mengikhlaskan..

Ada ungkapan begini :

In the end, what matter most is
How well did you live
How well did you love
How well did you learn to let go

Let go, dalam bahasa Arab adl ikhlas dan bahasa Indonesianya, merelakan.. Ada 2 kejadian dalam seminggu kemarin, yang merujuk kepada keikhlasan.

Pertama, kejadian yang dialami ibu gue. Pembantu gue yang sudah 1,5 tahun bekerja di rumah, Selasa kemarin mengambil 2 kotak perhiasan berlian ibu gue yang kalau ditotal mengalami kerugian ratusan juta. Bukan nilainya yang ibu gue sesali, tapi mostly karena kenangan yang ada di barang itu. Mulai dari pemberian eyang buyut, budenya, beli waktu jalan2x keluar negeri, de el el.. Ibu gue memang tabah & tenang, dia sama sekali gak nangis, tapi setiap ada kesempatan, dia pasti akan kembali bicara mengenai penyesalannya, kenapa bisa dia sampe naro kunci lemari di rumah, padahal biasanya dibawa kemanapun dia pergi. Untung saja nyokap gue bukan orang yang dibutakan oleh harta yang kayak di sinetron2x itu, yang kalo hilang harta langsung jadi gila gak kejuntrungan. Berulang kali dia bilang kalo dia sudah mengikhlaskan semuanya, bahwa rejeki itu di tangan Allah, dan pasti ada hikmahnya di balik ini semua. Tapi gue bisa lihat dari raut & matanya, kalo deep down inside, dia masih belum bisa merelakannya.

Kedua, kejadian yang gue alami sendiri. Yah, gak jauh2x lah, kaitannya sama perasaan. Ketika gue merasa bahwa gue sudah menemukan orang yang tepat, dg berbagai karakter yang bisa gue terima seiring berjalannya waktu, tapi gue dihadapkan dengan kenyataan bahwa ada perbedaan yang sangat mendasar yang tidak bisa dikompromi di antara kedua belah pihak, maka gue harus menerima kenyataan bahwa gue tidak mungkin menjalani hari-hari gue bersamanya. Gak ada pilihan lain kecuali mengikhlaskan semuanya. Berulang kali gue berkata pada diri sendiri, bahwa ini bukan kali pertama gue mengalami hal yang serupa (walau dg alasan yg berbeda-beda), dan I’ll survive and move on with my life, the life that I love.. Tapi gue tidak bisa membohongi diri, bahwa gue masih belum bisa merelakan semuanya pergi begitu saja, masih terasa berat, dan perasaan itu entah kenapa masih saja di hati gue, walopun gue sudah berusaha melepaskannya.

Mengikhlaskan segala sesuatunya terjadi memang kelihatannya mudah untuk diucapkan, tapi ternyata amat sulit utk dijalankan. Setiap orang pasti ada cara tersendiri utk merelakan kejadian yang mereka alami. Cara gue saat ini, selain lebih sering berkomunikasi dengan Tuhan, juga dengan tidak melihat ke belakang agar tidak menyesali apa yang sudah terjadi, dan gak perlu memusingkan diri dengan menebak-nebak kehidupan gue di masa depan. Gue akan membiarkan hari-hari gue mengalir begitu saja, dan seperti lirik lagu Float,

percayalah hati..lebih dari ini,
pernah kita lalui..
tak kan lagi kita mesti jauh melangkah..
nikmatilah lara..


– ijul signing off –

..thanks to you..

Rabu malam menjelang kamis (secara midnite gituh), gue iseng nyalain ym dr hp. Temen lama gue (yg juga ada di mp ini) masih online. Gue buzz ajah, and akhirnya kita ngobrol deh. Awal2x, obrolannya cuma yg seputar status ym, trus berlanjut ke arah yang lebih personal. Dari pembicaraan2x itu, gue mendapat sekali banyak masukan dari dia mengenai cara pandang tentang kehidupan and gimana dia ngeliat so-called aura gue saat ini. Pembicaraanya siy paling cuma sekitar 1/2 – 1 jam, gue lupa juga, tapi bener2x mendalam and gue jadi memikirkan ulang semua sikap gue, terutama ke orang-orang terdekat gue selama ini, yang sudah menyayangi gue tanpa pamrih. Gue sepertinya kurang menghargai keberadaan mereka, kadang take them for granted, mendadak gue merasa kecil & bodoh banget selama ini, hiks..

Dan ada satu kalimat dari dia yang menjadi motivasi gue utk menjalani hidup ini di ke depannya (gue agak2x lupa, tapi yg penting intinya deh ya) : “pancarkan aura positif, supaya elo bisa mendapatkan kebahagiaan & lebih tenang menjalani hidup”. Dessssssssss…. Saat itu juga, gue bertekad bahwa gue harus melihat segala sesuatunya dari sisi yang positif, dan sebisa mungkin meninggalkan segala keskeptisan gue mengenai hidup, menjauhkan diri dari perilaku kasar & membuang ego gue yang kadang gue ngerasa sudah berada jauh melebihi batas atas langit (jadi bukan setinggi langit..).

Malam itu, gue bisa tidur dengan tenang & sudah 2 pagi ini, gue bangun dengan tersenyum.. Gue berterima kasih banget sama dia, karena dia sudah mau menjadi teman yang baik selama ini, mau memberi masukan (dan mungkin nasehat) ketika gue membutuhkannya, dan menyadarkan gue ketika gue keluar jalur.

To WYP (sorry, orangnya pemalu banget, jadi gue gak bisa sebutin namanya), i can’t thank you enough for being such a good friend to me. Pembicaraan itu bener2x mencambuk gue utk menjadi pribadi yang lebih baik. (eh, tapi inget yah, jangan ***** duluan)

– ijul –

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial