Hari ini ibu Tjuk tepat berusia 80 tahun. Gue nggak pernah membayangkan akan hidup selama ibu. Tapi, gue juga nggak pernah bisa membayangkan kalau ibu tidak akan hidup selamanya. Untuk orang berusia 80 tahun, ibu cukup sehat. Keluhan yang dialami masih wajar-wajar saja, kayak sering lelah, punggung udah nggak bisa lurus lagi, kalau jalan udah nggak bisa cepat. Tapi di luar itu, ibu itu masih fit. Ya gimana yaaaaaaaaa, secara masih bisa bersihin kamar mandi sendiri, masih colongan naik tangga, potong rambut sendiri, dan yang juara itu ya masih bisa manjat pohon jambu!
Tahun ini, sebenarnya gue udah berencana untuk bawa ibu ke Masjidil Aqsa sebagai hadiah ulang tahun. Kalo tahun lalu kan hadiah ulang tahunnya berlibur ke Jepang karena ibu itu cerita kalo sejak muda belia, ibu ingin sekali lihat sakura dan budaya Jepang. Nah kenapa tahun ini gue pengen bawa ke Aqsa? Karena itu keinginan dia sejak dia pergi umroh pertama kali ama bapak. Tapi apa mau dikata. Manusia hanya bisa berusaha, tapi Tuhan yang berencana. Kami tiba di Jordan (sebagai tempat transit sebelum masuk Aqsa) siang hari pada tanggal 8 Maret, dan ternyata Jordan mengeluarkan larangan untuk menyeberang Israel tanggal 8 Maret di malam hari. Jadi mau nggak mau, kita hanya bisa jelajah Jordan. Kekecewaan jelas tergambar di raut wajah ibu, tapi mau bagaimana lagi? Kita hanya bisa pasrah ngalah, nrimo. Persoalan Corona ini benar-benar udah di luar kendali.
Gue sih masih berharap bisa bawa ibu ke Aqsa setelah semua urusan Corona ini selesai. Mudah-mudahan aja gue diberi kesempatan untuk mewujudkan keinginan ibu. Mohon doanya supaya ibu Tjuk selalu diberi kesehatan, dijauhkan dari penyakit, bahagia dan bisa menjejakkan kaki ke Aqsa yaaaaaaaaaaa…
Itu adalah pertanyaan sehari-hari, baik yang dilontarkan ke diri sendiri atau ditanyakan ibu ke gue. Oh ya, gue belum sempat cerita di sini kalau sejak September 2018, gue udah nikah (ini ntar gue ceritain di blog tersendiri deh). Salah satu hal yang membuat gue cukup pusing adalah masak. Gue emang suka masak, tapi dulu itu bukan suatu hal rutin. Jadi gue masak karena ya gue emang lagi pengen aja, nyoba sesuatu yang baru. Tapi sekarang, gue harus masak tiap hari karena kalo nggak, ya nggak ada makanan tersaji. Kadang sih kalo keluar malasnya, gue beli aja. Cuma ya bisa bangkrut kalo tiap hari beli. Jadi sekarang belinya ya pas akhir pekan aja, haha.
Nah, pertanyaan “Masak apa hari ini?” itu benar-benar suka buat pusing kepala. Kenapa? Karena gue nggak pengen menu yang tersaji itu-itu aja, jadi gue harus buat beragam variasi. Dulu pernah buat metode dengan mencatat masakan yang gue buat hari itu di ponsel. Jadi gue bisa buat jarak waktu antar makanan yang sama. Tapi ya cuma berjalan bentar karena kalau nggak salah, waktu itu sempat liburan, trus pas balik lagi ke Jakarta, lupa deh untuk mulai lagi.
Berhubung beberapa minggu lalu gue cek jantung (CT Scan) dan ternyata ada penyumbatan di jantung, mau gak mau, gue harus mulai benar-benar berpikir serius tentang masak-memasak ini. Gue nggak mau drastis kayak orang-orang yang diet trus food combining gitu. Sejauh ini yang penting buat gue adalah mengganti nasi putih dengan nasi merah, lalu mengurangi masakan bersantan dan yang digoreng. Tapiiii, kalau memang harus menggunakan minyak, ya pakai minyak jagung alih-alih minyak kelapa sawit.
Untuk memudahkan urusan gue mengenai menu makanan, selama 4 jam ke belakang tadi (setelah masak orek tempe untuk hari ini), gue berkutat melihat-lihat buku resep yang gue ada selama ini (juga ada yang baru gue beli kemarin), terus gue buat menu selama sebulan. Lumayan sih, gue berhasil buat menu sampe minggu pertama April. Tadinya mau gue terusin sampe akhir April, tapi kepala gue udah keburu panas, hahaaaa…
Pembuatan menu ini mudah-mudahan juga memudahkan gue dalam hal belanja. Soalnya, gue tuh kadang ke tukang sayur dan bingung mau beli apa, secara gue bingung mau masak apa. Yaaaaa, semoga juga masakan gue yang resepnya hasil nyontek dari buku nggak mengecewakan.
Gara-garanya hari Minggu kemarin, gue ketemuan sama temen-temen gue lalu membahas tentang cara kupas dan makan buah. Ternyata menurut teman gue, itu ribet sekali untuk makan buah. Sementara selama ini, menurut gue sih biasa-biasa aja.
Misalnya gini, gue hanya mau makan jeruk kalau sudah kupas dan serat putihnya sudah nggak ada. Padahal kata orang, yang bagus dari orang itu ya si serat putihnya. Trus, gue kalo kupas rambutan itu pake pisau soalnya pernah kejadian, gue buka rambutan pake jempol karena gue lupa diri, makan banyak rambutan. Eh, hasilnya kuku jempol gue kayak masuk ke dalam gitu, sakitnya ampe berhari-hari. Untuk duku/langsat, gue terus terang agak malas makannya karena bergetah. Jadi walau ada yang berbaik hati mau ngupasin untuk gue, ya kadang gue makan, kadang juga nggak, soalnya kan tetap aja itu getah nempel di tangan. Lengket!
Untuk buah-buah besar yang bisa gue makan itu ya mungkin semangka, dan ini kan udah jelas pakai pisau. Kalo melon, pastinya cari yang potong atau udah kupasan. Duren sudah tentu gue serahkan ke yang lebih ahli untuk bukain, walo kadang ya gue juga buka semisal durennya kecil dan jatahnya kayak satu orang satu buah duren gitu (dan ini sih bisa dihitung pake jari!).
Ini gue jadi lagi mikir tentang buah-buahan. Hahahaa… Daripada ribet, mending makan rambutan aja deh. Tentunya, rambutan yang gue kupas dengan pisau dan sudah didinginkan di lemari es dari beberapa jam lalu.
Tak bisa dielakkan, bahwa kumpul keluarga itu sering sekali dilakukan dalam satu keluarga, entah itu arisan, halal bihalal, perayaan ulang tahun, selamatan rumah baru, dan masih banyak lagi peristiwa lainnya yang akan berujung dengan kumpul keluarga ini.
Gue sendiri, terus terang, bukan orang yang suka kumpul keluarga. Pertama, gak ada yang seumuran gue, jadi biasanya kalo gue harus ikut, gue cuma duduk, liatin sekitar, bengong, nggak tahu mau ngobrol apa. Kedua, karena jarak dengan kedua kakak gue itu cukup besar, jadi yang dikenal itu ya kedua kakak gue aja. Udah gitu, karena muka gue dan kakak gue yang pertama itu cukup mirip, jadi sering banget para sanak dan kerabat salah mengira, bahwa gue itu adalah kakak gue yang pertama. Dan ini kejadian sudah berlangsung puluhan tahun lamanya *hela nafas*. Ketiga, ya gue males aja buang-buang waktu, mending melakukan sesuatu hal yang lebih berfaedah, contohnya tidur siang.
Makanya, gue itu pemilih banget untuk datang ke acara keluarga. Kalau nggak penting-penting banget, atau kalau nggak karena paksaan ibu, gue sebisa mungkin mencari alasan untuk nggak hadir. Kalau pun gue hadir, di usia sekarang, ya udah bisa sih mencari bahan pembicaraan. Dan sekarang sih terbantu banget dengan adanya kehadiran ponsel! Gue bisa lah sibuk sendiri dengan ponsel, cek medsos, baca berita atau sekadar main gim.
Patut diakui, kumpul keluarga itu juga berperan penting untuk merekatkan hubungan silaturahmi. Sebab, bagaimanapun juga, sanak kerabat itu yang turun tangan kalau sekiranya kita ditimpa musibah (selain tetangga, tentunya). Makanya, ibu tuh pesan ama gue, kalau sebisa mungkin mengikuti kumpul keluarga.
Sebagai pembuka tahun, gue bersama teman-teman relawan dari Komunitas Lebah mengadakan kegiatan bernama Cerdas Tanpa Batas di desa Simo, kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kebetulan, kegiatan ini gue pegang langsung dari tahun 2012. Gue absen hanya di tahun 2018 karena saat itu gue lagi liburan di Amrik, tapi kegiatan itu sendiri tetap jalan dan dipegang oleh Riska.
Sejujurnya, karena absen selama 2 tahun (oh iya, tahun 2019 kegiatan ini tidak dijalankan oleh Lebah) gue kayak mulai dari awal lagi. Tapi untungnya, teman-teman Lebah yang udah gue anggap sebagai keluarga sendiri selalu ada setiap gue butuh bantuan. Singkat cerita, persiapan beres, dana terkumpul sesuai anggaran, dan kegiatan pun terlaksana sesuai dengan rencana.
Gue selalu puas dengan hasil kerja sama tim yang terjalin di Lebah ini. Tidak ada kerja satu orang karena semua dilakukan bersama-sama. Ketika ada satu kekurangan, yang lain pasti berusaha untuk memperbaikinya. Tidak ada yang ingin menonjolkan diri dan mencari nama, semua bahu-membahu. Tidak ada yang merasa senior, semua dirangkul supaya tidak ada jarak. Di Lebah, semua orang berada di tingkat yang sama, tanpa melihat latar belakang keluarga, status sosial, pendidikan, ekonomi, agama, dan hal-hal lain yang membuat sekat.
Melakukan kegiatan bersama Lebah itu seperti candu. Semakin sering dilakukan, maka semakin terasa kurang. Dan bercerita tentang Lebah itu pasti tidak akan ada habisnya 🙂
Kegiatan Cerdas Tanpa Batas
Serah terima 1200an buku berikut permainan edukatif, poster pendidikan dan peta ke mas Ni’am sebagai pegiat Rumah Ilmu Lebah (RIL) Lentera SimoFoto bersama sebagai penutup kegiatan
Ternyata, gue baru menyadari bahwa selama 2019 kemarin gue sama sekali tidak menulis. Padahal, gue itu banyak sekali cerita yang ingin dituangkan jadi tulisan di sini. Mulai dari jalan-jalan, kehidupan setelah menikah (iya, akhirnya gue nikah juga!), pindah rumah, naik haji, banyak banget. Tapi ya, karena kalau mau nulis itu harus buka laptop dulu dan perlu ketenangan biar tulisannya mengalir , makanya walau sudah kepengen nulis, tapi akhirnya menguap aja gitu.
Nah karena itu, mulai hari ini, gue mau mulai rutin lagi cerita kayak dulu. Cerita dari yang sampah nggak penting sampe yang bisa jadi perenungan diri (tsaaaaaahh…) . Cerita pertama sebagai pembuka tahun 2020 akan ada di tulisan setelah ini 🙂
Beberapa hari lalu, gue bertemu teman-teman lama. Salah satu teman gue barusan kehilangan istrinya karena sakit (Al Fatihah untuk dia). Semasa hidupnya, si istri ini menjadi tempat curhat teman-temannya. Lalu teman gue bercerita, bahwa pada saat istrinya dirawat di RS, yang sudah dalam keadaan sulit berbicara, masih ada beberapa teman istrinya yang datang menjenguk, tapi alih-alih bertanya tentang keadaannya, mereka malah curhat kehidupan diri dan membuat istrinya kurang istirahat.
Hal lain yang diceritakan oleh teman gue, ketika istrinya meninggal, dalam keadaan berduka, ada saja teman-temannya yang bertanya mendetail mengenai kenapa bisa meninggal, sudah berapa lama sakit, dan berbagai pertanyaan tetek-bengek lainnya yang (mungkin) menurut sebagian orang merupakan pertanyaan wajar.
Entah bagaimana dengan kalian, tapi menurut gue, apa yang sudah dilakukan temannya teman gue ke dia atau istrinya itu bukan hal yang sepantasnya. Adabnya ketika menjenguk, pusatkan perhatian pada yang sakit, hibur, beri semangat kepada pasien atau penunggu, panjatkan doa untuk kesembuhannya, bukan malah membawa setumpuk persoalan hidup yang tidak ada manfaatnya. Sementara adab orang yang melayat itu ya mendoakan agar almarhum/almarhumah mendapat jalan yang lapang. Nggak perlulah bertanya-tanya mendetail tentang bagaimana dia meninggal, sejak kapan sakit (jika melalui sakit terlebih dahulu), dan hal-hal lain yang membuat jengah mereka yang ditinggalkan, tapi tidak bisa diutarakan langsung karena sungkan, khawatir menyinggung si penanya.
Dari dua hal yang diceritakan teman gue itu, ada satu benang merah, bahwa kepekaan manusia terhadap sesuatu itu sudah musnah. Gue tidak menyamaratakan, tapi coba lihat sekitar, betapa banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan sang penanya, tapi tetap ditanyakan hanya karena mereka merasa itu merupakan sesuatu hal yang wajar. Tak jarang, menjadi sesuatu yang wajar pula untuk diteruskan ke pihak lain, yang belum tentu juga mengenal pribadi orang tersebut, dan belum tentu juga tidak keberatan bila informasi yang dia berikan itu diteruskan ke pihak lain.
Gue selalu mengukur ke diri gue, dan sebelum melontarkan pertanyaan-pertanyaan nggak penting, biasanya gue tanya ke diri sendiri, apakah gue suka atau keberatan apabila ditanya orang lain mengenai A, B, C, D? Jika melihat cerita teman gue, apa susahnya sih, cukup mendoakan tanpa perlu tahu detail? Apa susahnya, cukup berniat datang menjenguk dan simpan curhatnya barang sejenak? Janganlah hidup sebagai orang yang egois. Berempati dan bersimpatilah sedikit. Nggak susah kok. Cukup biasakan diri untuk membaca situasi, belajar untuk memposisikan diri kita ke orang lain, belajar untuk menahan diri dengan tidak mengajukan sejumlah pertanyaan yang sebenarnya tidak ada manfaat bagi kehidupan diri sendiri, belajar untuk lebih banyak mendengar.
Banyak bertanya tidak berbanding lurus dengan peduli, dan tidak bertanya bukan berarti cuek.
To begin 2018, although it’s a bit late as it’s already 13 days passed the New Year, I wanna start it with a serious unanswerable blog.
So while I’m traveling, I get this question quite a lot, “Where is your home?”. To make it simple and quick, I usually answer with Jakarta as that’s where I live. But if they have the time to hear a longer version, I sometimes said, “I don’t know where my home is” and I have to give them a couple of reasons why.
There are a lot of definitions of home, and it all depends on their perspective. One thing is definite, Jakarta is not my home. Few people who are close to me (apart of my family) know that I don’t like the city and planning to get out from the city as soon as I can. Despite the fact that my mom and my other sister live in Jakarta, I have many friends there, I love how easy it can be to get the food from an app (Go inside Gojek app, click, click, click, voila! Your food is delivered at your house), but I don’t like the vibe and the people (my friends are not included).
I’m not trying to generalize Jakartan, that’s what people of Jakarta usually called, but I feel that most of them are suspicious, selfish, ignorant, and in a race of being in the top or try so hard to be outstanding among the crowd (e.g. going to a hip place, wearing the latest trend of fashion, having the most expensive stuffs, etc.). Let me give you a simple situation. You are waiting for an elevator, there are other people waiting for that same elevator. One of them greets and smiles at you. Will you greet that person back sincerely or you greet that person back but in the back of your mind, you are questioning the kind gesture, “Why is he doing that? Is he nuts?” Most Jakartans would never greet that person back. Instead, they would give you a look saying, “Don’t greet me, you moron!” Some of you might say I’m exaggerating, but look around you, observe.
I can’t deny the fact that Jakarta is the place where I grew up (FYI, I wasn’t born in Jakarta), the place where I used to work, and the place where I found my close friends. But other than that, it’s just the city that I don’t quite like. The idea of home for me is when you are away, you miss the place, not only missing the family, friends, food or your own room. Home is a place where you can feel the warmth of everything, the sincerity of the people, the place where you don’t wanna go away for so long. and the place where you can project yourself spending the remaining times of your life there.
So where is my home? I still haven’t found it yet…
Di tahun ini, gue nggak gitu banyak melakukan perjalanan di Indonesia. Tapi Alhamdulillah, gue bisa menambah 2 provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara dan Papua. Dengan demikian, gue kurang dua provinsi lagi untuk menuntaskan Indonesia, yaitu Aceh dan Gorontalo. Tentu saja, walau nantinya dua provinsi itu sudah didatangi, tetap saja Indonesia nggak bakal tuntas karena terlalu banyak tempat yang patut dikunjungi.
Nah, gue mau cerita di sini tentang apa yang gue alami waktu di Baliem, provinsi Papua. Cerita ini tentang pengalaman nyaris mati yang ketiga kalinya. Ha ha, iya! Setelah dipikir-pikir, kilas balik perjalanan gue selama ini, kayaknya gue tuh udah mengalami kejadian nyaris mati sebanyak 3 kali.
Pertama, waktu ke Derawan yang gue terombang-ambing di laut, udah teriak minta tolong tapi penumpang di tiga kapal itu nggak ada yang denger, dan akhirnya, ada juga salah satu penumpang yang melihat dan nyuruh kapalnya mendekat. Jangan tanya ke mana operator turnya, karena dia sibuk sendiri deketin cewek, sementara peserta yang dibawa ada 40an.
Kedua, waktu paralayang di Palu. Kalo orang-orang itu biasanya mengalami kejadian susah mendarat, nah ini gue mengalami kejadian gagal naik. Buat orang yang pernah tandem paralayang pasti tahu, kalau posisinya adalah elo di depan, tandem elo di belakang, dan ada satu orang yang bertugas narik tali elo terus ngelepasin supaya bisa terbang. Nah, orang yang bertugas narik tali gue itu ternyata orang baru. Udah bolak-balik disuruh ngelepasin talinya sama tandeman gue, masih tetap aja dipeganging. Hasilnya? Yaaaah, lumayan lah ya, terguling-guling di tanah berpasir 5 kali lebih, dari ketinggian yang gue nggak tahu lagi berapa tinggi dengan kemiringan 40-50 derajat, dan akhirnya, gue melihat ada sebatang pohon kering yang pendek tapi kokoh untuk pegangan gue dan buat gue berhenti. Ketika berhenti, ini dua orang lelaki menimpa badan gue ditambah dengan perlengkapan paralayang. Jadi nggak usah ditanya lagi betapa beratnya. Berat banget!
Nah yang ketiga ini yang paling epic karena melibatkan banyak orang, ha ha! Waktu itu hari terakhir nonton festival Baliem. Festival ini diadakannya tiga hari dan di hari pertama serta kedua, gue selalu keliling arena, nggak pernah duduk di tribun penonton. Di hari terakhir itu, berhubung kami datangnya lebih pagi, jadi lebih banyak meluangkan waktu untuk duduk di tribun. Sekitar pukul 10 lewat, Suku Trikora yang berjalan 7 hari 7 malam memasuki arena, mempertunjukkan kebolehan mereka, dan gue pun berdiri dari tribun, motret di pinggir lapangan. Nggak lama, gue kembali ke tribun, melanjutkan makan kacang kulit yang tertunda karena motret tadi.
Untuk gambaran, jarak tribun ke lapangan itu sekitar 10 meter. Gue duduk di baris pertama tribun. Posisi kacang kulit ada di sebelah kiri gue, tepatnya di sebelah paha. Saat itu, gue lagi nengok ke kiri, ambil kacang, dan pas kepala gue menengok ke arah depan, gue lihat ada tombak kayu dengan kecepatan tinggi mengarah ke gue. Gue syok, syaraf refleks gue mendadak lumpuh. Dan mak jedar! Area leher gue kena itu tombak, tapi tombak kayunya langsung memantul dan gue cuma bisa nekan area yang kena tombak sambil bilang, “Aku kena tombak”.
Mbak Rita, teman makan kacang kulit yang duduk di sebelah kiri syok. Langsung semua orang merubung, dan yang di pikiran gue saat itu cuma satu, kehilangan pita suara. Jadilah gue langsung ngucap “A, I, U, E, O” macam orang mau latihan vokal dan lega banget ketika gue bisa mendengar suara gue sendiri. Berarti pita suara gue aman. Teman serombongan langsung ngumpul (untungnya di rombongan itu banyak banget yang berprofesi dokter, jadi gue merasa lebih tenang) dan berusaha memberikan berbagai bantuan. Ada yang manggil panitia, tapi mau tahu nggak, panitia angkat tangan, nggak mau tanggung jawab. Gue inget banget ada beberapa penonton yang videoin gue yang lagi megangin leher, mungkin masuk ke live story akun medsos dia, terserah deh, udah nggak peduli juga. Gue saat itu hanya berusaha nggak pingsan, karena gue khawatir banyak darah keluar. Tapi setelah mbak Ria cek, dia bilang nggak gitu banyak darah yang keluar. Berhubung gue sekamar sama Doksin dan Doksin yang lebih paham sama keadaan gue, langsung deh pada nyari Doksin yang lagi melihat atraksi di tempat lain. Gue jauh lebih tenang setelah Doksin datang.
Untungnya, walau panitia tidak mau bertanggung jawab, tapi mereka punya tenda medis, dan ada orang medis yang datang ngecek. Gue diajak ke tenda medis mereka, dan sampe di tenda, ditanya-tanya ama Doksin tentang peralatan yang mereka punya, akhirnya diputuskan untuk ke RSUD terdekat. Concern Doksin cuma satu, ada racun di tombaknya. Tapi menurut petugas medis, hal itu nggak mungkin banget. Pas banget mau pergi, ternyata ada pengumuman dari MC kalo balapan babi mau dimulai. Duh, gue nggak enak banget ama Doksin karena tujuan datang lebih pagi ke festival itu kan karena mau lihat balapan babi juga. Tapi Doksin bilang kalau balapan babi nggak penting dibandingkan ke RSUD.
Akhirnya bertiga ke RSUD dengan ambulans yang sirenenya nggak ada, jadi sepanjang jalan itu nyalain klakson aja. Nah di sepanjang jalan itu juga, gue berasa banget kalo semakin lama, gue semakin sulit menelan ludah sendiri. Ini rasanya lebih parah dari radang tenggorokan. Gue harus tahan napas dan butuh sekitar 10 detik untuk menelan ludah, plus ada tambahan sakit kepala setiap nelan. Belum lagi jendela ambulans ini nggak bisa ditutup, sehingga udara kering dan debunya membuat batuk. Dan, karena ranjang medisnya lagi ada entah di mana, jadi nggak bisa tiduran di belakang, alih-alih duduk bertiga di depan semua, sementara kaki gue panjang banget, jadi yaaaaaaaa, mayan mati rasa lah paha ke bawah, hahahaaaaa…
Sesampainya di RSUD, langsung dibawa ke UGD. Pas dokter jaganya masuk ke ruangan UGD, ternyata masih muda bangeeeeeeet. Dia dokter PTT yang kuliah di universitas swasta di Jakarta. Karena Doksin udah dokter senior, kayaknya dia juga jiper yaaaa. Ya gue sih emang terus terang lebih percaya ama Doksin daripada apa yang diucapin nih dokter PTT. Akhirnya, dokter jaganya itu nyuruh 2 staf UGD utk ngurusin gue. Waktu dilihat pertama kali ama ni dokter jaga, katanya gak perlu dijahit, cukup dibersihkan saja. Nah terus, dokter ini keluar, kembali ke ruangannya sementara 2 stafnya lagi ambil peralatan. Trus Doksin ngecek ulang pake senternya, dan menurut pendapatnya, luka gue perlu dijahit karena cukup dalam. Langsung lemes lah ya gueeeee, tapi daripada gue nggak sembuh, gue pasrahin semuanya ke Doksin. Pertanyaan gue sih cuma satu pas waktu harus operasi, apakah akan mengganggu jadwal trekking, secara keesokan harinya itu, gue mau trekking Wamena 5 hari. Untuuuuuuung aja dijawabnya kalau aman untuk trekking. Kalau pun nggak aman, gue akan tetep jalan sih, hahahaaaaaaa…
Akhirnya persiapan pun berubah. Dari yang tadinya cuma mau bersihin luka jadi menjahit. Tuh dokter jaga udah nggak muncul lagi, jadi cuma 2 staf ini. Ada kejadian kocak, well, sebenarnya nggak kocak sih, agak malah buat parno, hahahaa. Jadi, ketika selesai bersihkan luka dan harus dijahit, ini yang bertugas menjahit bilang, “Duh, tangan saya mendadak gemetar, grogi diliatin.” Segitu kencengnya nih aura kesenioran Doksin, sampe tuh staf grogi berat. Lalu diganti lah sama yang satunya, trus pesannya Doksin satu, “Kamu jangan gemeteran juga ya.” Gue yang cuma dibius lokal tapi nggak ada kekuatan lagi cuma meringis pengen lempar jarum jahit ke tuh staf. KZL.
Operasi berjalan lancar, dan selama itu, Doksin ada di samping gue terus. Habis operasi, Doksin juga ngurusin BPJS dan obat-obatan (untungnya abis bayar BPJS, jadi semuanya gratis). Selesai operasi, langsung kembali ke hotel dan istirahat. Gue nggak ngerti ya, kalo nggak ada Doksin, bakal gimana nasib gue. Selain itu, gue bersyukur banget jalan ama rombongan ini yang bener-bener perhatian banget ama gue. Atensinya tuh nggak dibuat-buat, beneran tulus dan itu berasa banget. Gue jadi nggak enak hati malah karena jadinya ngerepotin. Mulai dari beliin makanan, ngecek ke kamar, bener-bener kasih perhatian yang besar.
Singkat cerita, gue bisa menelan ludah seperti biasa dalam waktu 1×24 jam, bisa trekking tanpa halangan, bisa liburan ke tempat-tempat lain, tapi luka di leher gue meninggalkan bekas keloid karena gue anaknya keloidan banget (apeeeeeee lagiiii).
Yah, mudah-mudahan aja ini terakhir kalinya gue bersinggungan dengan pengalaman kayak gini. Semoga di tahun 2018 dan seterusnya, liburan gue nggak perlu ada yang kejadian yang kayak begini, hahahahaaaaa…
Tolong diaminkan yang kencang ya, sodara-sodara sebangsa setanah air yaaaaaaaaaaaaaa… 🙂
Sapa tahu balik lagi ke RSUD ini (mudah-mudahan sih nggak perlu balik yaaaaaaaa…)