…first post…

Yes! It’s my first post in this blog. All this time, I blog using a blogspot. But a week ago, I was thinking, why not having a blog with my name on it. So I talked to my good friend and he told me to check it first, whether someone already use the name or not. I’m lucky, it’s available. At first, I was thinking to use .co.id as it’s the Indonesian domain, but then I think .com is so much easier to remember.

I’m so blessed that I have a good friend that works as a web designer and willing to help me to set up this blog, transfer all contents from blogspot to this one. But I’d feel bad if I have to go back-and-forth asking him silly things, so I asked him to give me a short course last Sunday afternoon. So in an hour or so, he gave me some kinda crash course and I was so amazed because technology these days is so amazing and makes everything comes so easy.

With all lessons he gave me, I continued to set up my site at home. And here it is. It’s simple, I know. But I love it, especially the sidebar where I can put my Twitter and IG account. And you know what’s the hardest thing to do? Finding the right picture to be used as the header.

Ery, thank you so much! Guess I have to write more often now 🙂

…agama di mata mereka…

Dalam perjalanan gue ke Yordania, Yerusalem dan Mesir beberapa waktu lalu, ada satu hal menarik saat berbincang-bincang tentang agama.

Gue mau bercerita tentang yang di Yordania dulu. Di suatu malam di Wadi Rum (ini gurun pasir yang sering dijadikan lokasi syuting film-film Hollywood), gue dari Indonesia, satu wisatawan perempuan dari Irlandia yang bermukim di Australia karena suaminya yang berwarga negara Pakistan bekerja di sana, dan seorang Bedouin sedang berkumpul sehabis makan malam. Pada awalnya, gue hanya duduk mendengarkan percakapan mereka karena sejujurnya, gue malas untuk berbahasa Inggris. Tapi ketika mereka berbicara tentang agama, lalu gue ditanya apa agama gue, maka mau tidak mau, gue pun menanggapi dan terlibat dalam percakapan tersebut. Kami berbicara tentang kehidupan beragama di negara masing-masing. Perbincangan yang cukup intens namun dalam suasana santai, padahal suhu udara menunjukkan 8 derajat Celcius.

Masih di Yordania, tapi kali ini di Amman. Sebelum gue menuju bandara, gue diajak sama pengemudi gue ke toko suvenir. Ternyata, salah satu dari pegawai toko itu pernah ke Indonesia tahun 2016 lalu dan dia bisa bahasa Indonesia. Perasaan gue saat itu ketika menemui orang yang bisa berbahasa Indonesia setelah 4 hari berbahasa Inggris itu senangnya bukan kepalang. Pengemudi kayaknya tahu kalo gue seneng banget bisa ketemu orang yang bisa bahasa Indonesia, jadi dia langsung melipir, ngobrol ama temannya yang kerja di toko itu. Hampir 2 jam, kami membahas tentang Islam, Arab Saudi dan orang keturunan Arab di Indonesia.

Kemudian sewaktu di Yerusalem, ketika gue melakukan wisata religi Islam dan Kristen, gue didampingi oleh pemandu wisata beragama Islam yang tinggal di West Bank, Palestina. Dengan sabar, dia memberi gue pelajaran singkat tentang sejarah Islam & Kristen. Gue yang nggak pernah peduli akan sejarah agama langsung harus menyerap apa yang diberikan si pemandu wisata dalam waktu singkat, yaitu 5 jam. Untungnya, gue pernah baca buku Kisah 25 Nabi dan Rasul waktu SD, jadi saat ditanya sama dia, agak sedikit tahu.

Kemudian saat gue datang pertama kali di penginapan di Luxor, gue bertemu dengan si manajer, dan saat sudah selesai diajak melihat-lihat penginapannya, kami duduk berbincang-bincang sembari menikmati pemandangan sungai Nil di sore hari. Tanpa basa-basi, dia langsung bertanya tentang segala demo yang terjadi di Jakarta yang membawa-bawa nama Islam. Gue pun menjelaskan apa yang terjadi, dan jawaban dari dia cukup membuat gue terkesima. Begitu pula dengan malam terakhir, ketika gue malas untuk bepergian dan hanya ingin menonton TV di ruang tengah, gue terlibat dalam perbincangan menarik tentang kehidupan beragama di Mesir dengan salah satu pekerja penginapan.

Semua percakapan ini memberi pelajaran yang sangat besar bagi gue. Bukan tentang Islamnya, tapi tentang bagaimana menjadi manusia. Kita, sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebagai makhluk beragama terlepas apa agama yang dianut, harus bersikap selayaknya manusia. Agama itu tidak perlu diumbar, tidak perlu dibela dan tidak perlu dipertanyakan. Orang-orang yang terlibat di percakapan tersebut tidak saling mengenal, tetapi mereka semua memiliki satu kesamaan pandangan. Mereka percaya bahwa bukan urusan manusia untuk menilai orang lain. Manusia hanya perlu berbuat baik sesama manusia lain tanpa melihat agamanya.

Terus terang, setiap kali ada perbincangan tentang agama, perasaan gue selalu lega. Gue senang bertemu dengan orang-orang yang berpandangan luas, yang bisa memberi gue wawasan, dan bukan menghakimi. Iya, gue memang ditanya apa agamanya. Tapi setelah gue jawab gue beragama Islam, mereka selalu berhenti di ucapan, “Alhamdulillah.” Tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan konyol tambahan atau pura-pura menasihati tapi bersifat memaksa dengan membawa sejumlah ayat seperti apa yang marak terjadi di Indonesia saat ini.

Mereka sangat menyadari bahwa mereka hanyalah manusia dan berusaha sebisa mungkin untuk menjadi manusia yang bertingkah laku baik terhadap sesama manusia.

…kisah sebuah nama…

Nama gue Yulia. Itu nama pemberian orang tua. Alasan mereka kasih nama itu sangat sederhana. Karena gue lahir tanggal 31 Juli, jadi Yulia adalah singkatan dari Yuli Akhir. Gue pernah bertanya kenapa nggak Julia, secara nama bulannya kan Juli. Tapi mereka tidak pernah menjawab secara lugas alasannya. Sementara nama belakang gue, Absari, yang diberikan oleh almarhum eyang buyut kakung gue. Gue sendiri nggak pernah tahu apa arti nama belakang gue itu. Gue pernah sih bertanya ke ibu, tapi beliau pun hanya bilang, itu pemberian dari eyang buyut. Mungkin karena ibu didikan zaman dulu ya, jadi apapun yang diberikan oleh orang tua, terima jadi saja karena menurutnya, apa yang dilakukan pasti mengarah ke kebaikan. Dan nama belakang kakak-kakak gue pun diberikan oleh eyang buyut kakung gue ini. Kalau Baso, itu karena nama belakang bapak gue itu Baso, lengkapnya Abdullah Baso.

Seperti kebanyakan orang, gue pun punya nama panggilan. Dan dari nama panggilan itu, bisa ketahuan periode mereka mengenal gue atau atas sebab apa mereka memanggil gue dengan nama tersebut. Kalau ada yang manggil gue dengan “Yulia”, itu berarti teman SD, rekan kerja di kantor dan sebagian teman SMA. Sementara sebagian teman SMA lainnya yang jadi teman dekat hingga saat ini memanggil gue dengan “Bajul” atau “Juli”. Ada apa dengan teman SMP? Apakah gue tidak duduk di bangku SMP? Bukan begitu ceritanya. Tapi berhubung gue anak baru, jadi gue nggak gitu banyak bergaul selain dengan teman-teman sekelas. Untungnya, teman-teman SMP gue banyak yang melanjutkan ke SMA yang sama. Jadi ya, bisa dibilang teman SMA gue ya temen SMP itu. Untuk di kalangan kerabat/saudara dan tetangga, mereka memanggil gue dengan “Lia”, baik itu dengan predikat “mbak” atau “dek”. Tapi untuk orang rumah, gue ada panggilan sendiri dan cuma sedikit sekali teman dekat gue yang tahu nama panggilan gue itu.

Lalu sejak kapan gue dipanggil dengan nama Ijul? Begini ceritanya. Waktu dulu gue baru pindah ke Bandung untuk kuliah di STP (d/h Enhaii) dan tinggal di asrama perempuan, gue tinggal satu lantai dengan teman bernama Ina. Dialah yang pertama kali memanggil gue dengan nama Ijul dan menurut gue, nama itu sesuai dengan karakter gue. Sejak sore itu, gue selalu memperkenalkan diri dengan nama “Ijul”. Gue hanya memperkenalkan diri dengan nama “Yulia” ketika gue bepergian keluar negeri karena sudah dapat dipastikan, mereka kesulitan untuk melafalkan nama “Ijul”.

Seperti kata Shakespeare, “What’s in a name?“, maka gue sendiri nggak pernah mempermasalahkan mau dipanggil apa. Bahkan dengan “Eh” pun gue akan tetap membalas (kecuali catcalling di pinggir jalan ya!).

…tidak inklusi…

Bagi yang sering menggunakan angkutan umum atau mencari ruang memarkirkan mobilnya di Jakarta pasti tahu bahwa ada pengkhususan bagi perempuan. Memang, kaum perempuan senang dengan adanya pengistimewaan ini. Tapi tahukah kamu, bahwa kondisi ini makin memperjelas bahwa negeri ini tidak inklusi?

Di satu sisi, perempuan meminta haknya untuk disetarakan dengan kaum pria, tetapi di sisi lain, dengan adanya pembedaan itu, menyatakan bahwa perempuan itu minta dibedakan?

Terus terang, saya juga beberapa kali menggunakan lahan parkir untuk perempuan karena memang sedang kosong. Tapi ada kejadian yang sampai sekarang tidak pernah akan dilupakan ketika saya hendak parkir di mal besar di dekat Tugu Selamat Datang. Saat itu, saya ancang-ancang parkir mundur dan si petugas parkir mengatakan, “Saya bantu parkirkan saja, mbak.” Berhubung saya sedang fokus dengan mobil, saya tidak begitu peduli dengan tawarannya. Tapi setelah saya reka ulang, saya berkesimpulan bahwa yang ia baru saja lakukan adalah suatu penghinaan dan merendahkan martabat. Begitu banyak contoh yang kalau ditulis bisa menjadi sangat panjang.

Tidaklah heran ketika banyak kaum pria yang kemudian merendahkan bahkan melecehkan perempuan. Seharusnya yang diperbaiki adalah pola pikir, bukan malah memperuncing minta perlakuan khusus.

– di gerbong kereta campur –

…apresiasi untuk Syaharani…

Bisa dikatakan, gue adalah salah satu penonton setia Java Jazz Festival (JJF). Dari mulai JJF pertama tahun 2005 di Jakarta Convention Center, hanya tahun 2013 gue absen nonton karena ada pekerjaan mendadak di luar kota, padahal tiket harian dan pertunjukan spesial sudah dibeli.

Gue mengamati begitu banyak perubahan dan perkembangan yang terjadi di perhelatan akbar ini. Mulai dari penonton hingga penyelenggaranya. Dan sebagaimana suatu acara, selalu ada kekurangan dan kelebihan, tapi semuanya tidak sampai menimbulkan kekecewaan. Sebagian besar meninggalkan kesan yang menyenangkan.

Namun tadi malam, di hari pertama JJF 2016, gue sungguh merasa kecewa dengan JJF ketika melihat seorang artis yang sudah malang melintang di dunia musik, khususnya jazz, hanya diberikan satu panggung kecil nan sempit, di bagian yang sangat belakang, tidak akan terlihat kecuali oleh para penonton yang sedang berkeliaran mencari makan. Ya, seorang Syaharani hanya diberikan panggung di area food court dengan sound system seadanya.

Namun, Syaharani adalah seorang artis profesional. Ia tetap menghibur para penonton yang mayoritas lebih sibuk dengan makanan di depan mata dan mengobrol dengan temannya daripada menikmati lantunan lagu yang dibawakan Syaharani. Dengan gaya bercandanya yang khas, ia mengeluh tentang sound system yang tersedia.

Syaharani di mata JJF mungkin tidak akan bisa menggaet banyak penonton. Syaharani memang bukan Raisa yang kekinian, yang bisa menarik penonton hingga ratusan sehingga ia layak diberikan panggung besar. Tapi Syaharani adalah nama besar di panggung musik jazz, bahkan penampilan yang semalam bukan penampilan perdananya di JJF. Namun melihat apresiasi yang diberikan JJF ke Syaharani semalam, sungguhlah memalukan.

Selama bertahun-tahun gue datang ke acara ini, sudah sangat jamak bahwa area food court adalah area uji coba para penyanyi yang baru merangkak masuk ke dunia musik dan mencoba mencari nama.

Mungkin penilaian gue salah, mungkin gue subjektif, dan mungkin ada pertimbangan tersendiri dari JJF mengapa mereka memberi Syaharani panggung minimalis di area yang tak terlihat dengan sound system seadanya. Tapi semalam, kesan yang timbul adalah nama Syaharani tidak berarti apa-apa di mata JJF. Bahkan namanya jauh di bawah band dengan kualitas suara vokalisnya yang minimalis, namun mendapat tempat di dalam coffee shop JIExpo, di area depan dan langsung terlihat oleh para pengunjung yang datang.

Semoga penilaian gue ini salah.

..bahasa persatuan..

Mumpung waktunya tepat, walau lagi ada dokumen yang harus diterjemahkan, gue tetap mau meluangkan waktu untuk menulis tentang pengalaman saat gue di Jerman, tepatnya waktu di Stuttgart.

Ada tiga kejadian di tempat dan hari berbeda dengan satu benang merah yang sama, yaitu ketika gue jalan-jalan ke objek wisata mereka. Yang pertama, saat gue ke Solitude Palace. Demi ingin tahu apa yang ada di dalam Istana, dan gue hanya bisa masuk kalau ikut tur yang dipandu mereka, jadilah gue mendaftar untuk tur mereka. Tapi mau tahu? Mereka tidak punya tur berbahasa Inggris, yang menurut gue bahasa pemersatu di dunia ini. Mereka hanya punya tur berbahasa Jerman. Berhubung gue mau tahu isinya (dan mau motret juga), ya gue tetap ikuti itu tur. Mulai dari menit pertama hingga menit terakhir, ketika pengunjung lain tergelak, gue benar-benar bagai di alam lain, nggak tahu apa yang dijelaskan. Dan, gue nggak bisa motret!

Kejadian kedua, ketika gue ke Ludwigsburg Palace. Sebelum ke sini, gue cek dulu, apakah mereka punya tur berbahasa Inggris, karena seperti Solitude, hanya pengunjung yang membayar yang bisa masuk ke dalam Istana, selebihnya hanya di pelataran istana, dan itu gratis. Waktu mau bayar tiket masuk, gue tanya ke kasirnya, jam berapa tur berikutnya. Dan mau tahu? Dia bilang tur berbahasa Inggris berikutnya sudah penuh dan yang tersisa yang berbahasa Jerman. Kalau tetap mau yang berbahasa Inggris, gue harus menunggu 1 jam lagi, sementara di seputaran istana tidak ada objek wisata lainnya. Sial… Akhirnya gue tetap bayar dan ikut tur berbahasa Jerman itu. Dan sekali lagi, setelah di dalam, baru gue tahu kalau gue nggak bisa motret!

Kejadian ketiga ini sebenarnya banyak gue alami di museum-museum di Jerman, jadi bukan hanya di Stuttgart. Banyak sekali keterangan untuk peraga tidak ada dalam bahasa Inggris, jadi gue hanya lihat gambar sambil sekali-kali lihat Google Translate (asli lelah dan menghabiskan banyak waktu!).

Waktu gue mengalami kejadian ini, gue langsung ingat sama orang-orang yang melecehkan Jokowi yang “menurut mereka si kaum penyebar fitnah”, tidak bisa bahasa Inggris dan mereka tidak sudi dipimpin oleh orang yang bahasa Inggrisnya kacau. Mereka juga bilang, bagaimana Indonesia mau maju kalau Presidennya tidak bisa bahasa Inggris?

Yang gue mau tulis di sini, bahwa kenapa sih, kita, yang jelas-jelas rakyat Indonesia, bahasa persatuannya adalah Bahasa Indonesia, malu untuk berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia? Apa karena kita selalu menggunakan Bahasa Indonesia lalu kita tidak akan bisa menjadi negara maju? Jerman adalah bukti nyata bahwa warganya tidak semua bisa bahasa Inggris, keterangan untuk para wisatawan dalam bahasa mereka, tapi itu tidak menghalangi wisatawan untuk pergi ke sana. Jerman adalah negara maju, dan salah satu negara kaya yang mengucurkan banya dana untuk membantu negara di benua Eropa lainnya yang terpuruk akan krisis!

Salah satu isi dari ikrar Sumpah Pemuda, tepatnya di kalimat terakhir, “…Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”. Jadi sudah jelas, bahwa bahasa kita itu bahasa Indonesia. Pernah nggak kalian menyadari, bahwa begitu banyak buku pelajaran Bahasa Inggris tapi buku tentang Bahasa Indonesia bisa dihitung dengan jari? Pernah tidak kalian melihat sekeliling, betapa banyak bertebaran kalimat atau jargon dalam bahasa Inggris tapi jarang yang memakai Bahasa Indonesia? Pernah tidak kalian berpikir bahwa kalian lebih bangga jika anak kalian menggunakan bahasa asing dibandingkan bahasa Indonesia? Kalian, para orangtua, saling membanggakan bahwa anaknya sudah bisa bahasa Mandarin atau Inggris, lalu ketika anaknya bertanya mengenai arti suatu kata yang umum digunakan dalam Bahasa Indonesia, kalian hanya tertawa? Tidakkah kalian berpikir bahwa kalian berkontribusi untuk menghilangkan bahasa pemersatu negeri ini secara perlahan? Kita masih terjebak dalam stigma, bahwa dengan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, maka kita akan terlihat keren.

Maaf, tapi buat gue, orang yang keren itu adalah orang yang bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, yang membuat gue terperangah ketika mendengar orang tersebut bisa membedakan kapan mengucapkan “kami” dan “kita”. Ya, Bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya memang penting, tapi bukan berarti kita lalu bisa seenaknya saja bergegas meninggalkan pemakaian Bahasa Indonesia. Ada kalanya bahasa asing diperlukan, tapi jangan sampai kalian melupakan bahasa negeri sendiri.

Gue sering bertukar pikiran sama ibu gue, membayangkan masa depan bahasa Indonesia. Menurut kami, kalau rakyat Indonesia masih tetap seperti ini, dan bahkan bisa lebih parah lagi, maka tidak heran kalau dalam waktu 10 tahun ke depan, bahasa Indonesia akan punah dan masuk ke daftar bahasa langka yang dikeluarkan PBB. Tidak usah membicarakan bahasa daerah yang nasibnya lebih buruk (terutama bahasa Jawa, karena penggunanya kalau sudah pindah ke Jakarta terus langsung hilang ingatan akan bahasa yang dimiliki dari kecil).

Gue berharap, prediksi gue akan punahnya Bahasa Indonesia tidak terjadi, tapi gejala ke sana sudah mulai terjadi dari sekarang. Cukup miris melihat begitu banyak teman yang pandai menulis dalam Bahasa Inggris, tetapi ketika menulis dalam Bahasa Indonesia, tidak bisa membedakan penulisan ‘di’ yang dipisah dan disambung. Sederhana tapi menjengkelkan, karena itu adalah hal yang sangat mendasar. Cukup miris ketika mereka berlomba-lomba untuk mengambil ujian TOEFL tapi bahkan tidak pernah mendengar kalau kita punya yang namanya UKBI (Ujian Kompetensi Bahasa Indonesia).

Belum terlambat untuk mengubah nasib bahasa persatuan kita. Kalau kalian cinta akan negeri ini, cinta akan bahasa kita, menghargai jasa mereka yang telah bersusah-payah mengucap ikrar pada tanggal 28 Oktober 1928, gue mengajak kalian untuk mulai lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Kalau bukan kita yang melestarikannya, siapa lagi? Masak nunggu orang asing untuk menyelamatkannya seperti yang sudah terjadi dengan kesenian-kesenian kita?

*kembali bekerja*

..ketika harus memilih..

Sejak Pemilu Presiden tahun 2009, gue sudah memutuskan untuk tidak mau lagi ikutan yang namanya Pemilu Presiden. Apalagi terbukti bahwa dalam 5 tahun ini, pemerintah Indonesia bukannya membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik, malah menuju kemunduran. Banyak sekali insiden-insiden yang sempat membuat gue berpikir, karena di saat yang hampir bersamaan banyak sekali iklan Prabowo membawa bendera HTI muncul di TV, bahwa negeri ini seharusnya dipimpin oleh militer yang keras, jadi kalau ada yang membangkang, langsung saja dikeluarkan perintah penculikan atau yah, mentok-mentok diadakan lagi yang namanya Petrus alias penembak misterius. Jadi kalo macem-macem, tinggal terima nasib untuk siap ditembak 🙂

Mulai awal tahun 2013, pencarian sosok calon Presiden yang bisa memimpin Indonesia pun dimulai. Sejauh ini, tidak ada sosok lain yang bisa memimpin Indonesia selain Prabowo. Habis siapa lagi? Nama-nama yang muncul ke permukaan itu nama-nama yang sudah terlalu usang. Waktu terus berjalan hingga akhirnya pada 14 Maret 2014, ketika gue sedang maen di rumah temen gue dan menonton tayangan di TV bahwa Jokowi mencalonkan diri jadi Presiden. Mau tahu reaksi gue? Kecewa. Gini, gue bukannya tidak tahu siapa Jokowi. Gue tahu Jokowi dan sepak terjangnya sejak dia jadi Walikota Solo periode pertama, sejak dia dimuat di majalah Tempo 2008 dan masuk sebagai 10 walikota muda terbaik se-Indonesia. Gue baca berita dia di Kompas tentang revitalisasi pasar dan relokasi PKL. Sedikit banyak, gue yang gak tahu politik ini baca berita tentang dia dari dulu, bukan baru 1-2 tahun saja. Waktu dia maju jadi Pilgub DK1 aja gue kurang bisa terima. Bukan apa-apa sih. Tapi warga Jakarta, yang menurut gue adalah gambaran mayoritas rakyat Indonesia, mulutnya itu sangat silet. Warga Jakarta itu warga yang sangat arogan dan merasa paling benar di seluruh nusantara ini. Gue hanya takut, kalau Jokowi menang dan menduduki jabatan Gubernur Jakarta, ketika ada kebijakan atau tindakan yang tidak sreg dengan diri warga Jakarta, itu menghinanya bisa sehina-hinanya hina. Walau akhirnya gue tetap memilih Jokowi sbg Gubernur, tapi apa yang gue bayangkan terjadi. Terbukti dengan banjir 2013, baru menjabat 3 bulan, tapi Jokowi sudah ditanya kenapa masih banjir juga. Daaaan, yang menghina Jokowi itu bukan hanya warga Jakarta, tapi orang-orang yang tidak tinggal di Jakarta, kayak warga Depok, Tangerang, Bekasi yang notabene “numpang” cari nafkah di Jakarta, tapi berasa yang punya Jakarta.

Kembali ke pendeklarasian Jokowi bulan Maret itu, gue kecewa karena gue pengen dia membereskan Jakarta dulu. Nantilah, tunjukkan dulu kemampuannya sebagai DK1 di 5 tahun ini bersama Ahok, baru kalau sudah teruji, dia bisa maju sbg Capres di Pemilu 2019 bersama Ahok sebagai Cawapresnya. Gue apatis, semakin yakin bahwa pilihan golput adalah yang terbaik, tapi bukan berarti gue tidak mengikuti perkembangan berita di Indonesia.

Suasana hangat saat pencarian cawapres untuk kedua capres juga gue ikuti. Ketika akhirnya Prabowo memilih Hatta dan Jokowi memilih JK, gue hanya mikir, ini kok cawapresnya gak ada yang beres. Maksudnya gini, Hatta itu asli buruk banget kinerjanya, bahkan menurut gue dia gak kerja apa-apa selama menjabat sebagai menteri. Ada berapa posisi menteri yang udah dia jabat? Empat. Apa prestasinya? Hmmm, selain banyak kecelakaan transportasi waktu dia menjabat jadi Menhub dan berhasil membuat anaknya mendapat hukuman yang sangat sedikit, gak ada prestasinya sama sekali. JK? Well, walo sama-sama berdarah Bugis, tapi bukan berarti gue suka ama bapak ini. Waktu dia menjadi Wapres, berapa kali dia bersitegang dengan SBY karena dia ambil keputusan tanpa kompromi terlebih dulu. Dia juga yang menyarankan adanya UN yang membuat para siswa stres dan tak jarang bunuh diri. Dia hanya bagus setelah menjabat sebagai Ketua PMI, terutama geraknya yang cepat sekali membantu para korban bencana.

Menurut gue, hal bagus dari adanya dua kandidat ini yaitu Indonesia bisa menghemat banyak uang! Dan menghematnya itu bisa trilyunan, walo gue gak tahu berapa jumlah pastinya. Hal bagus lainnya? Mmmm… Gue sama sekali gak peduli dengan Pilpres, bahkan belum masuk masa kampanye, sudah banyak sekali isu dan fitnah yang beredar, daaaaaan teman-teman gue di FB ini banyak sekali yang kemakan berita itu dengan menyebarkanluaskannya di akun mereka. Hasilnya? Mereka gue unfollow (oh my gosh, I’m so thankful with this button!) supaya gak muncul di newsfeed FB gue. Asli capek bacanyah, dan yang gue gak habis pikir, yang ngelakuin tuh teman-teman yang menurut gue pendidikan formal & agamanya tinggi! Duoooh, kalo udah ngehina orang, itu asli lebih rendah dari taik babi. Elo tau kan betapa haramnya babi di agama gue? Nah, ini taiknya! Asli rendah banget dan berasa paling benar sebumi dan akhirat. Plus, hasutan dan teori konspirasi yang mereka buat itu canggihnya minta ampun. Gue suka berkomentar di status mereka, bukan untuk memancing emosi, tapi sekadar ingin tahu, sebenarnya mereka tahu nggak sih apa yang mereka omongin. Tapi hampir 95% dari mereka itu tidak tahu, dan kalau sudah diberitahu itu yang ada defensif. Debat kusir! Mendingan gue cari kusir dokar beneran trus keliling kota. Unbelievable!

Sampai akhirnya gue terlibat satu perbincangan dengan teman SMA gue yang tinggal di Australia, yang membuat gue akhirnya mencari visi dan misi kedua kandidat mengenai pariwisata dan kebudayaan di Indonesia. Visi-misi dari Jokowi-JK sebanyak 42 halaman dan visi-misi dari Prabowo-Hatta sebanyak 9 halaman itupun gue baca. OK, visi dan misi memang buatan orang (lah ya iya, masak buatan binatang?), jadi kata teman gue yang lain, bisa saja nanti pada praktiknya tidak dilakukan. Tapi setidaknya, visi-misi jadi pembuka mata gue mengenai apa yang akan dilakukan kedua kandidat ini bila terpilih menjabat posisi RI-1 dan RI-2.

Inilah ulasan singkat gue mengenai perbandingan visi-misi Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK:
1. Dari jumlah halaman, sudah jelas menggambarkan seberapa seriusnya kedua kandidat ini mengurus negara. Memang, 1.000 halaman pun tidak akan cukup, tapi 42 banding 9 sudah cukup memberi poin.
2. Di lima halaman pertama, Jokowi-JK menguraikan kronologis dan analisis SWOT. Jadi pembaca awam yang membaca visi-misi ini mengerti, ke arah mana Indonesia ini akan dibawa dan apa alasannya.
3. Prabowo-Hatta hanya mempunyai 3 misi yang general dan global, Jokowi-JK memiliki 7 misi yang menyentuh semua aspek dalam kerangka besar
4. Prabowo-Hatta memiliki 8 agenda yang terdiri dari program-program yang menurut gue terlalu makro dan di awang-awang. Jokowi-JK memiliki 9 agenda prioritas (bahkan mereka punya nama untuk agenda ini, sebutannya Nawa Cita) yang diuraikan secara mendetail.

Karena kepedulian gue adalah di bidang pendidikan, pariwisata dan pluralisme (Bhinneka Tunggal Ika), maka dengan antusias gue membaca poin-poin ini dari kedua kandidat. Hasilnya?
1. Prabowo-Hatta masih memasukkan UN, sementara Jokowi-JK akan menghapusnya
2. Kedua kandidat akan memasukkan pendidikan budi pekerti dan kebangsaan.
3. Prabowo-Hatta tidak terlalu mendalam ketika membahas Bhinneka Tunggal Ika, sementara Jokowi-JK , selain memberi penekanan terhadap Bhinneka Tunggal Ika dengan 5 prioritas utama, cukup banyak membahas isu ini di dalam visi-misinya
4. Prabowo-Hatta hanya menyebutkan “melestarikan warisan seni budaya sebagai kekuatan dan pemersatau bangsa” di bidang pariwisata, sementara Jokowi-JK memiliki suatu komitmen pembangunan karakter dan pembangunan pariwisata yang terdiri dari 3 poin.

Ok, tampaknya kandidat capres no. 2 (oh ya, Prabowo-Hatta adalah pasangan dengan nomor urut 1, sementara Jokowi-JK nomor urut 2) memenangkan hati gue untuk visi-misinya terutama pada poin yang jadi kepedulian gue. Sejak membaca visi-misi ini, gue mulai mengikuti perkembangan dan mencari tahu tentang kedua kandidat ini dengan lebih mendetail. Tak jarang, gue posting berita tentang pilpres ini hanya untuk melihat reaksi dari teman-teman gue yg menjadi pendukung kedua capres. Surprisingly (atau memang as expected), pendukung capres yang no. 1 memang lebih “keras” dan cenderung debat kusir.

Akhirnya pada satu titik, sekitar pertengahan Juni, ketika gue mendapat tautan video Anies Baswedan, orang yang memang gue ketahui sangat pintar dalam menyampaikan pesan melalui pidatonya tanpa berapi-api, menggugah rasa kebangsaan gue dan membuat gue menitikkan air mata. Video itu membuat gue berpikir ulang akan pilihan gue untuk tetap tidak memilih, seperti yang gue ucapkan selama ini. Video ini membuat gue memikirkan tentang masa depan Indonesia.

Gue gak mau negeri yang sangat gue cintai ini mengalami kemunduran. Gue gak mau, tulisan Bhinneka Tunggal Ika di lambang negara, Garuda Pancasila, hanyalah sebatas hiasan tanpa makna. Gue harus turun tangan untuk membawa Indonesia ke perubahan yang lebih baik. Hanya ada dua pilihan kandidat, capres no. urut 1, Prabowo-Hatta atau no. urut 2, Jokowi-JK, dan pilihan golput tidak ada di sana.

Ada beberapa pertimbangan gue untuk menentukan pilihan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo bukan salah satunya, karena secara logika, kalau memang dia bermasalah, kenapa bisa dijadikan Cawapres untuk Megawati tahun 2009. Gue juga tidak melihat penampilan para kandidat. Kalau melihat penampilan, gue pasti orang pertama yang akan malu punya Presiden seperti Gus Dur yang gak bisa melihat. Tapi gue suka Gus Dur, dan menikmati semua pidatonya. Memang, tahun 1999 itu belum ada Pilpres langsung, tapi sekali lagi, penampilan bukan jadi bahan pertimbangan. Kalo memang jadi pertimbangan, gue akan pilih Wiranto tahun 2009 lalu.

Gue melihat pendukung di kedua kandidat. Gue melihat ada Aburizal Bakrie yang tidak bertanggung jawab dengan nasib para korban Lapindo, gue melihat ada PKS di sana, partai Islam yang seharusnya menjadi panutan tetapi malah mencetak koruptor kelas kakap (iya, menurut sebagian orang yang partisan PKS, LHI dijebak). Gue juga melihat ada FPI di belakang Prabowo, ormas garis keras yang “membela” Islam (padahal Islam sudah tidak perlu dibela), yang ingin menegakkan UU syariah di negeri yang umat Islamnya “hanya” mayoritas dan mengabaikan pemeluk agama lainnya, yang mengutamakan kekerasan, seenaknya memberi cap “kafir” ke orang yang berseberangan paham dengan mereka dan aparat kepolisian pun tunduk dengan mereka. Gue melihat ada partai yang diketuai Suryadharma Ali di sana, tersangka koruptor penyelenggaraan haji. Gue melihat banyak orang-orang yang memiliki agenda tersembunyi apabila Prabowo-Hatta terpilih. Gue melihat adanya koalisi yang tidak sehat, yang transaksional. Gue baru melihat tayangan Debat Capres saat masuk ke sesi ketiga, melihat tayangan debat-debat lainnya di TV yang melibatkan dua kubu, dan ya, tampak jelas karakter para pendukung kedua kandidat. Gue yakin, akan ada komentar bahwa pendukung Jokowi-JK itu kaum zionis, JIL, LGBT. Okelah mereka menjadi pendukung Jokowi-JK, tapi apakah mereka melakukan kejahatan meraup uang rakyat hingga bermilyar-milyar? Apakah mereka melakukan tindak kekerasan terhadap mereka yang berseberangan paham? Gue hanya melihat berdasarkan data secara sederhana. Tidak akan ada partai yang bersih, karena konon kabarnya, politik itu kotor. Namun berdasarkan temuan ICW, 9 dari 11 daftar partai terkorup berada di belakang Prabowo-Hatta.

Mungkin Prabowo jujur dan tegas, karakter yang dibanggakan pendukungnya, tetapi yang gue lihat, dia berjarak. Entah memang citra tersebut yang dibuat oleh timsesnya, atau memang itu karakter pribadi, gue sama sekali gak tahu. Yang jelas, setiap kali melihat potongan tayangan kampanye dia di daerah-daerah, gue hanya melihat bahwa ada jarak antara penguasa dan rakyat, jarak yang tidak akan bisa dihilangkan. Sementara rakyat membutuhkan pemimpin yang bisa dekat dengan mereka, yang tak berjarak.

Seperti yang sudah pernah gue tulis di status FB gue, gue tidak mau negeri ini kembali ke masa Orde Baru, ketika kebebasan berpendapat diberangus, ketika penguasa adalah raja yang harus didengar dan bila bertentangan maka akibatnya akan fatal, ketika banyak pencekalan di sana sini bahkan menyentuh bidang ekonomi kreatif (baca: seni), dan semua ini secara tersirat diucapkan oleh Prabowo sendiri dalam Dialog Budaya di TIM dan dikutip oleh banyak media.

Dari kedua pilihan, yang ternyata kalau menggunakan kata hati itu sangat mudah, pilihan gue jatuh ke Jokowi-JK. Ya, gue pilih Jokowi-JK lengkap dengan segala konsekuensi yang ada. Kenapa? Karena gue ingin Indonesia berubah ke arah kemajuan, bukan kemunduran. Gue sangat tahu, mereka berdua hanya manusia biasa yang kodratnya adalah melakukan kesalahan. Kalau Rasulullah Muhammad SAW saja pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya, masak gue, yang manusia biasa sama kayak Jokowi-JK mengharapkan mereka berdua sempurna? Segala sesuatu memerlukan proses, namun gue yakin, proses yang berjalan paling tidak akan sama seperti ia menjabat sebagai Walikota atau Gubernur, yaitu proses yang melibatkan semua warga, proses menuju perubahan yang lebih baik.

Gue memilih Jokowi bukan karena gue berdarah Jawa, bukan karena dia mendapatkan banyak fitnah lalu gue jatuh simpati, bukan karena mukanya ndeso, bukan karena banyak artis yang milih dia, tapi gue melihat bahwa rekam jejaknya lebih bersih dari Prabowo, sudah teruji di Solo dan kerja kerasnya (yang menurut sebagian besar orang yang tidak mendukungnya adalah pencitraan) sudah menelurkan hasil, tidak ada jarak antara dia dan rakyat yang dipimpinnya kelak, dan foto tanggal 24 Juni 2014 di Monas lalu menjadi bukti betapa dia tidak memiliki jarak dengan rakyatnya, it’s the people’s power!

Gue memilih dengan logika, tidak terhasut dengan segala macam fitnah, isu agama apalagi menelan mentah-mentah fatwa haram yang dikeluarkan oleh badan agama. Namun yang jelas, gue melihat, mana yang bisa membawa Indonesia menuju perubahan yang lebih baik. Gue ingin negeri ini tetap utuh, melaksanakan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Ya, semua orang Indonesia menginginkan pemimpin yang tegas, yang bukan hanya prihatin ketika ada masalah. Tetapi tegas tidak harus berlatar belakang militer. Tegas itu merupakan suatu sikap. Dari ketegasan, akan muncul keseganan, bukan ketakutan.

Tulisan ini gue buat bukan untuk memengaruhi siapapun, bukan pula untuk menimbulkan perdebatan, karena memilih adalah hak setiap orang, bahkan memilih untuk tidak memilih pun merupakan hak setiap warga. Gue hanya ingin mengutip apa yang diucapkan Boni Hargens beberapa waktu lalu, “Anda tahu kalau mau kembali ke masa lalu pilih siapa. Anda tahu kalau mau melangkah ke depan pilih siapa. Ruh demokrasi inilah yang penting. Ini bukan hanya persoalan pencoblosan 9 Juli. Pilihlah figur yang terbaik, yang bisa membuat negara Indonesia ini aman.” Dan untuk yang memilih golput, jadilah golput yang benar, coblos secara adil dan merata, tapi ingatlah, “BAD politicians are elected by GOOD people who do not vote.”

– untuk Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika –

..sendirian?..

“Sendirian aja, mbak?”
“Temennya mana?”
“Wow, sendirian dari Jakarta?”

“Kok gak ngajak temennya?”
“Emangnya gak capek & gak bosen nyetir sendirian gitu?”

Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk pertanyaan yang gue dapati dari setiap orang yang gue temui setiap harinya, mulai dari hari pertama hingga hari terakhir gue sampai di Jakarta. Negeri ini memang masih belum jamak menemui perempuan yang jalan sendirian, apalagi yang nyetir keliling Jawa sendirian. Sebagian besar orang menganggap, bahwa perempuan yang jalan sendirian itu kalo gak perempuan nekat, perempuan yang gak punya teman atau perempuan aneh, hahahaaaaa… Gue pribadi sih tidak pernah bosan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari mereka, tapi kalau gue lagi malas menjawab, mungkin gue hanya membalas dengan senyuman. Kalau lagi bersemangat, gue akan menjelaskan ke mereka dengan panjang lebar kenapa gue jalan sendiri dan tidak sama teman-teman.

Entah kenapa, gue sangat menikmati perjalanan gue ini walau sendirian. Gue tidak pernah merasakan adanya rasa sepi atau bosan. Lelah menyetir mungkin iya, karena wajar, gue seharian menyetir tanpa ada yang bisa menggantikan, tapi selebihnya, gue sangat menikmati waktu yang berjalan. Menyetel musik, menonton dvd, menikmati pemandangan alam di jalanan yang gue lewati, merokok sambil menyetir, memacu adrenalin dengan menyalip mulai dari motor, mobil ukuran biasa sampai truk peti kemas 20 kaki. Gue juga orang yang suka melakukan self-talking, dalam hal ini, kadang gue bicara sama Dumbo karena dia duduk di kursi depan atau ngobrol dengan Sang Pencipta layaknya Ia di hadapan gue. Apalagi, kalau gue pasang status atau mengunggah foto di akun facebook, pasti ada saja teman-teman yang mengirimkan komentarnya, dan di situlah gue berkomunikasi, mengobrol walau secara virtual. Gue merasa mereka menemani gue selama perjalanan ini. Gue juga mengobrol dengan ibu dan teman-teman dekat gue melalui whatsapp messenger, bercerita tentang kejadian yang gue alami di hari itu.

Ketika gue mengunjungi satu kota yang tidak ada teman seorang pun, gue masih bisa bertemu dengan banyak orang, mulai dari tukang becak, karyawan hotel, penjaga warung makan hingga pemandu wisata yang bisa gue ajak ngobrol. Tak jarang, gue malah jadi tempat curhat mereka walau cuma sesaat. Jadi jujur, ketika ditanya mengenai kesendirian, gue sama sekali tidak merasa kalau gue sendiri karena gue dikelilingi dan berinteraksi dengan banyak orang. Tidak ada satu hari pun gue yang bisu, tidak berbicara dengan satu orang sama sekali .

Kalau dipikir-pikir lagi, seandainya gue tidak melakukan negosiasi dengan ibu gue, bahwa gue hanya boleh pergi kalau ada teman yang bisa menemani, mungkin gue gak akan pernah pergi dan melakukan perjalanan ini. Ada sih yang ngasih saran, kenapa nggak ngajak teman walau temannya hanya bisa seminggu, jadi paling nggak punya teman selama di perjalanan untuk beberapa saat. Hmmm, memang itu sebenarnya bisa saja dilakukan, tapi selain gue gak kepikiran, ya perjalanan ini memang ingin gue lakukan sendirian, karena ini adalah perjalanan impian gue. Lagipula, belum tentu juga teman yang gue ajak itu sepaham dengan gue. Dalam artian begini, walau sudah berteman lama, tapi ketika liburan bersama, kadang akan keluar pribadi yang asli, bukan berarti selama ini pribadi yang ditampilkan itu pribadi palsu loh. Tapi kan, gue akan menghabiskan waktu 24 jam dalam sehari dengan teman gue, jadi setidaknya sepaham dengan jalan pikiran gue. Gue kadang bisa sangat cuek orangnya, tapi kadang kesabaran gue juga suka habis stoknya. Nah daripada timbul efek yang tidak diinginkan setelah jalan, gue lebih baik menghindari untuk mengajak sembarang teman. Gak gampang menemukan teman yang sepaham dalam konteks liburan.

Jadi kembali ke tema tulisan, gue sama sekali tidak merasa sendirian walau gue pergi sendiri. Mungkin ini yang dikatakan, alone but not lonely and I really enjoy it. Dan gue yakin, bahwa gue akan diingat oleh setiap orang yang bercakap-cakap dengan gue sebagai “perempuan Jakarta yang berkeliling Jawa sendirian”.

Perbekalan selama di mobil 🙂



..surganya sate sapi..

Jawa Tengah di pesisir Utara itu adalah surga bagi gue, karena daerah itu adalah surganya sate sapi! Iya, gue memang doyan banget makan sate sapi. Kenapa? Karena sejak gue kecil, bapak gue itu selalu mengajak gue untuk makan sate sapi. Dia gak pernah ngajak gue untuk jajan sate ayam, apalagi sate kambing. Trus, kalo di rumah buat sate, itupun sate sapi, bukan sate ayam. Jadiiii, buat teman-teman yang belum tahu gue, pasti bertanya-tanya, kenapa gue sangat suka sate sapi dan gak bosen makan sate sapi (mungkin yang bosen malah yang ngeliat postingan foto-foto sate sapi gue). Ya karena menurut gue, sate itu ya hanya sate sapi.

Makanya, karena seminggu pertama gue tahu akan gue habiskan di Jawa Tengah, sebisa mungkin gue mencari informasi mengenai warung yang jual sate sapi di kota-kota yang akan gue singgahi. Ada enam tempat yang gue sambangi untuk makan sate sapi, yaitu Pemalang (2 tempat), Pegandon (1 tempat), Ungaran (1 tempat), Blora (1 tempat) dan Surabaya (1 tempat). Di bawah ini adalah ulasan gue mengenai sate sapi yang gue makan, dengan nomor 1 sebagai sate yang kurang enak.

 1. Sate Klopo Ondomohen Ibu Asih, Surabaya
Entah kenapa sate ini sangat terkenal di Surabaya dan konon kabarnya kudu dicicipi kalau sudah sampai di Surabaya. Menuruti anjuran beberapa teman yang tahu gue suka sate sapi, gue datang ke rumah makan Ibu Asih bersama Lina, teman gue yang sedang menuntut ilmu di kota ini. Dari tampilan menurut gue sudah mengecewakan. Dagingnya tipis, bumbunya lebih banyak minyak daripada kacang sampai gue harus minta bumbu tambahan, lalu ketika digigit, rasanya aneh. Kalau dilihat dari pembuatannya, sate ini dibakar setengah matang, lalu dibalurin kelapa parut, kemudian dibakar hingga matang, makanya parutan kelapa itu menempel di daging. Berhubung udah memesan satu porsi dan sayang untuk dibuang, jadi mau tidak mau harus dihabiskan.

Skala 1-10, sate ini gue beri nilai 5. *maaf jahat*

2.  Sate Kelapa H. Warso
Sebenarnya, spesialisasi makanan dari rumah makan H. Warso ini nasi grombyang. Tapi setiap kali pengunjung memesan nasi grombyang, selalu disodori sepiring sate klopo ini. Pengunjung, dalam hal ini gue, tidak perlu menghabiskan sepuluh tusuk sate yang disuguhkan dalam 1 piring, karena yang dihitung adalah berapa banyak tusuk sate yang dimakan. Gue cuma makan satu tusuk dan rasanya masih jauh lebih mendingan daripada sate klopo Surabaya. Sate ini sangat kaya bumbu kelapa, jadi ketika digigit, itu parutan kelapa seperti memenuhi langit-langit mulut. Dagingnya empuk, tapi gue kurang suka rasa kelapa parutnya.

Skala 1-10, sate ini dapat nilai 6 🙂

3. Sate Sapi Pak Kempleng 2, Ungaran

Sate ini terkenal sekali di Ungaran, saking ngetopnya, sampe buka cabang walo tetap berlokasi di Ungaran. Sebenarnya banyak warung makan yang jual sate sapi di daerah ini, tapi menurut rekomendasi teman yang suka mudik dan bapaknya penggemar sate sapi juga, tempat ini perlu dicoba. Berhubung dapurnya di belakang, jadi gue hanya menebak bahwa sepertinya ketika dibakar, sate ini sudah dibaluri kecap dan bumbu rempah terlebih dahulu. Dagingnya lembut, dan bumbu kacangnya kental, mungkin pakai kacang mete. Kalau tidak mau makan dengan bumbu kacangnya, makan satenya langsung juga sudah enak karena rasa sate ini sudah manis. Gue yang lidah Jawa suka sekali dengan rasa manisnya sate ini.

Skala 1-10, sate ini dapat nilai 8.

4. Sate Sapi Semeru, Blora
Dulu, setiap gue ke Blora, gue selalu diajak makan sate sapi Gajah yang letaknya di dekat alun-alun. Namun berhubung penjual sate sapi Gajah pertama sudah meninggal dan mewariskan ke anaknya, rasa pun berubah drastis. Oleh karena itulah, gue beralih ke sate sapi Semeru dan setiap gue ke Blora, gue pasti datang ke tempat ini. Dagingnya memang kecil-kecil, bumbu kacangnya pun standar, tapi yang membuat enak itu adalah teman wajib makan satenya, yaitu nasi berikut toge rebus, bawang goreng dan irisan daun bawang yang disajikan di daun jati yang wangi. Plus, minumnya pakai Kawista yang sudah sangat jarang ditemukan di kota Jakarta.
Skala 1-10, nilai sate ini 8.
5. Sate Bumbon Pak Azis, Pegandon

Sebenarnya, tujuan pertama gue ke Pegandon bukan ke sate bumbon pak Azis ini, tapi pak Rahman. Berbekal informasi dari internet, gue ke kecamatan Pegandon, mengikuti papan jalan menuju Pegandon, tapi setelah 30 km yang ditempuh dengan waktu hampir 1,5 jam karena jalanan yang sangat bergelombang di tengah sawah dan pemukiman penduduk yang tak kunjung berakhir, udah nanya orang tapi tetep gak ada yang tahu warung sate pak Rahman, puter balik pakai acara nyasar pula, dan tetep gak ketemu juga setelah melewati 3 kecamatan, akhirnya gue putuskan untuk langsung ke Semarang saja. Tapi entah gue agak kurang rela kalau perjalanan ini berakhir sia-sia, jadi gue nanya ke satu orang lagi, ada yang tahu warung sate bumbon apa nggak. Gue ditunjukin ke sate bumbon pak azis ini, katanya di pojokan jalan. Tapi berhubung udah laper banget dan lagi kesel ama Ganjar Pranowo, jadi gue gak nemu warung sate bumbon dan malah parkir di rumah makan sate kambing. Untung aja gue pake acara nanya dulu, apakah mereka jual sate bumbon, dan ternyata mereka menunjukkan warung kecil warna kuning muda di pojokan jalan. Pas gue nemu tempatnya, fiyuh, berasa lega dan langsung lapar. Emang gak sia-sia pencarian gue akan sate bumbon ini, karena sate sapi ini emang enak luar biasa. Pake bumbu kecap dan tomat merah, sate sapi ini harus dimakan dengan sayur kuah santan cair yang berisikan toge, lemak sapi dan tomat. Waktu dituangkan nasi ke piring, gue liat mereka nuanginnya banyak banget, jadilah gue minta untuk dikurangi setengah. Eh ternyata oh ternyata, nasi setengah itu habis dalam waktu hitungan 10 menit! Mau nambah lagi gue malu dong, jadilah gue cukup puas dengan semua yang dihidangkan tanpa sisa.

Sate ini gue berikan nilai 9 dari skala 1-10.

6. Sate Loso Pak No Putri di Jl. Urip Sumoharjo, Pemalang.

Gue datang ke tempat ini di hari kedua perjalanan gue. Gue sampai di Pemalang sekitar jam 12. Berhubung sudah masuk dzuhur, gue shalat dulu di Mesjid Agung yang ada di alun-alun. Setelah shalat, gue bertanya ke juru parkir mengenai warung sate ini. Ternyata warung sate ini ngetop dan terletak tidak jauh dari alun-alun, mungkin sekitar 200 meter saja. Warungnya terletak di pinggir jalan, tidak begitu besar, dan walau jam sudah menunjukkan waktu makan siang, tidak banyak orang yang datang makan di sini. Gue sudah lapar banget, tapi berhubung gue berencana untuk makan nasi setelah makan sate sapi ini, jadi ketika ditanyakan apakah gue mau makan pake nasi, ya gue jawab aja nggak. Gue pesan 1 porsi sate, dan gue kira isinya ada 10 tusuk, ternyata setelah keluar, isinya cuma 5 tusuk. Mungkin ada yang pernah baca postingan gue di fb, bahwa seumur-umur, gue gak pernah merasakan namanya food orgasm dan selalu menganggap orang-orang yang bisa sampe food orgasm itu sangat berlebihan. Tapi ya, ketika menggigit daging sate ini untuk pertama kalinya, astagaaaaaaaaa, untuk pertama kalinya dalam hidup, gue merasakan apa yang namanya food orgasm! Kelembutan dagingnya sangat pas, bumbu kacangnya yang tidak ditumbuk halus itu benar-benar membuat gue lupa diri dan menyesal, kenapa gue hanya memesan satu porsi dan kenapa gue mesan nasi! Tapi untuk minta sepiring nasi ke penjual sate agak-agak malu, karena gue udah bilang di awal bahwa gue masih mau makan nasi di tempat lain. Setusuk demi setusuk, gue sangat menikmati kelembutan daging berbalut saus kacang ini dengan muka sumringah dan geleng-geleng kepala, kok bisa ada yang buat sate seenak ini.

Buat gue, ini adalah sate sapi terenak yang pernah gue makan seumur hidup dan karena yang terenak, makanya nilai yang gue berikan adalah 10!

Siapapun yang punya rekomendasi tempat makan sate sapi yang enak, boleh dibagikan ke gue yaaa, dengan senang hati gue akan mencobanya 🙂

..keliling Jawa..

Peta sebagai pemandu jalan & Dumbo sebagai teman jalan

Pada tanggal 28 April 2014 lalu, gue memulai perjalanan keliling Jawa yang dimulai dari Pantura hingga Banyuwangi, berlanjut ke Blambangan kemudian menyusuri jalur selatan hingga kembali ke Jakarta. Perjalanan ini adalah salah satu hal yang gue impikan untuk lakukan sedari dulu. Berawal ketika bapak gue masih hidup dan yangyut putri gue masih hidup, setiap Lebaran, kami sekeluarga selalu mudik ke Blora dengan naik mobil. Gue lupa tahun berapa, tapi gue ingat, dulu ketika mobil bapak Suzuki Carry, bagian tengah mobil diangkat joknya, lalu kami menggelar tikar dan tidur-tiduran di bawah. Mudik ke Blora berakhir ketika yangyut putri gue diboyong ke Jakarta akhir 80an, tapi ingatan akan mudik dan keinginan untuk suatu saat bisa menyetir hingga ke Blora tidak pernah surut. Gue pengen banget bisa nyetirin bokap seperti kakak gue, Mbak Desy, lakukan waktu itu. Waktu berjalan, bokap meninggal, dan keinginan untuk nyetir ke Jawa pun sedikit meredup.

Sekitar tahun 2008, ketika film 3 hari untuk selamanya yang dibintangi Nicholas Saputra tayang di bioskop, gue dan pacar gue saat itu pun berencana untuk melakukan road trip hingga ke Malang. Nampaknya seru, tapi gue menanggapi biasa saja, karena saat itu gue masih bekerja kantoran dan kemungkinan untuk cuti panjang sepertinya tidak bisa. Ya memang, pacaran kandas, begitu pula dengan road trip. Pertengahan tahun 2011, ketika gue sudah mau mengundurkan diri dari pekerjaan kantoran, terjadi perbincangan via FB sama salah satu teman lelaki gue. Kami berdua berencana untuk road trip di akhir tahun 2011. Jadwal perjalanan selama 2 minggu sudah tersusun rapi, mobil sudah dimasukkan ke bengkel, dan tinggal 7 hari lagi berangkat, lalu dia menelepon kalau kemungkinan besar dia tidak bisa pergi karena harus ke Pontianak. Kesal dan kecewa sekali mendengarnya, karena gue sudah sangat tidak sabar untuk melakukan perjalanan ini. Tapi ya gue juga tidak bisa memaksa teman gue untuk mengubah jadwalnya. Di pertengahan 2012, teman gue ini akhirnya jadi pacar (hahahaaaaa…) dan sekali lagi, kami merencanakan untuk road trip di awal Desember. Cuma karena dia sendiri kurang serius untuk rencana road trip ini, dan gue sibuk mengurus persiapan untuk program pendidikan yang gue pegang di Lebah, jadi sekali lagi, road trip gagal diwujudkan. Tahun 2013, sewaktu gue berlibur di Amerika, gue berniat untuk mewujudkan perjalanan keliling Jawa ini sendirian. Tadinya, gue pengen jalan pas puasa, tapi kayaknya gak seru banget, masak perjalanan pas puasa, kurang bisa maksimal wisata kulinernya. Lalu gue mundurkan ke November, tapi pikir-pikir, bulan itu sudah masuk musim hujan. Gue paling malas nyetir saat hujan, selain jalannya lebih lambat, gue kesal liat wiper yang bekerja membersihkan kaca depan, ganggu titik fokus. Awal tahun 2014, gue masih mencari bulan yang baik untuk road trip dan akhirnya gue putuskan untuk pergi di bulan Mei karena di bulan itu gue nggak ada jadwal liburan sama sekali, kemungkinan besar sudah nggak ada hujan dan gue berasumsi bahwa jalanan masih lebih baik strukturnya daripada setelah lebaran. Bulan April, gue pun bilang ke ibu, tapi ibu membalas bahwa gue harus cari teman untuk menemani selama perjalanan. Negosiasi yang cukup alot dengan ibu, namun pada akhirnya beliau mengiyakan gue pergi sendirian karena gue bilang ke ibu, bahwa tidak akan ada orang yang bisa pergi menemani selama 5 minggu penuh (ibu tahu bahwa hubungan gue sudah kandas dengan pacar), sementara keinginan gue untuk melakukan perjalanan ini sudah tak bisa terbendung lagi.

Persiapan untuk road trip ini gue lakukan praktis hanya seminggu sebelum berangkat, karena jujur, di bulan April itu, gue masih ada jadwal liburan ke sana kemari. Jadi sekembalinya dari Flores, gue langsung memanfaatkan hari yang ada untuk ke bengkel, beli buku dan cemilan untuk dibagikan ke anak-anak kecil yang gue temui sepanjang perjalanan (gue anti memberikan uang ke anak usia sekolah dasar, jadi gue menggantinya dengan memberikan buku dan cemilan), beli kotak pendingin, makanan, minuman, segala macam yang menurut gue akan diperlukan selama perjalanan nanti. Packing baju saja baru dilakukan dua hari sebelum berangkat karena gue masih ada proyek terjemahan. Gue berencana untuk pergi selama 35 hari, tapi gue sama sekali nggak punya waktu untuk merencanakan tempat yang akan gue tuju. Gue hanya punya gambaran tempat yang akan gue tuju di 4 hari pertama, hari-hari berikutnya ya urusan nanti.

Tanggal 28 April itu pun tiba. Perasaan gue campur aduk. This is the moment that I’ve been waiting for and it’s finally here! Selama hampir 5 minggu, gue berkendara keliling Jawa, dari satu kota ke kota lain. Menyetir dari pagi hingga sore (terkadang malam hari), menikmati pemandangan yang tidak akan bisa didapatkan di Jabodetabek (apalagi Jakarta!), mengamati orang-orang yang melintas, mencari warung yang menjual makanan khas kota yang sedang gue singgahi, menjalin pembicaraan dengan orang-orang yang gue temui, mengunjungi tempat-tempat wisata, menikmati jalannya waktu tanpa terbersit rasa kebosanan sedikit pun.

Gue sangat berterima kasih karena cukup banyak teman yang merekomendasikan tempat yang patut dikunjungi baik melalui whatsapp atau facebook. Cukup banyak teman yang mau gue repoti dan menampung gue sewaktu gue singgah di kota mereka. Gue bersyukur memiliki banyak teman yang perhatian sama gue, yang mendoakan agar gue selamat selama di perjalanan.

Ketika perjalanan harus berakhir lebih cepat 2 hari karena Timun, kelinci gue yang sudah sekarat, ada kesedihan karena harus meninggalkan aktivitas rutin yang sudah dijalani selama 33 hari ini. Sedih karena untuk sementara waktu harus menyudahi perasaan excitement yang timbul setiap mau mendatangi tempat baru, struktur jalanan seperti apa yang akan dilalui, pemandangan seperti apa yang akan ditemui, dan berada di balik kemudi mobil lalu menyalip-nyalip kendaraan di depan. Tapi di satu sisi, gue amat puas karena akhirnya bisa mewujudkan keinginan yang sudah cukup lama bertengger di pikiran dan hati. Perjalanan spiritual ini benar-benar sesuai dengan apa yang gue harapkan. Gue merasa diri gue menjadi semakin kaya, pengalaman hidup menjadi semakin bertambah, dan Sang Pencipta semakin enak untuk diajak bercakap-cakap.

Suatu hari nanti, gue akan melakukan perjalanan ini kembali. Menelusuri jejak yang tertinggal, menemui mereka yang pernah singgah, menghidupkan kembali apa yang pernah mati. Perjalanan ini akan terus diingat sepanjang hayat.

Keadaan mobil selama 33 hari 🙂

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial