…pembuka tahun 2020…

Sebagai pembuka tahun, gue bersama teman-teman relawan dari Komunitas Lebah mengadakan kegiatan bernama Cerdas Tanpa Batas di desa Simo, kabupaten Tuban, Jawa Timur. Kebetulan, kegiatan ini gue pegang langsung dari tahun 2012. Gue absen hanya di tahun 2018 karena saat itu gue lagi liburan di Amrik, tapi kegiatan itu sendiri tetap jalan dan dipegang oleh Riska.

Sejujurnya, karena absen selama 2 tahun (oh iya, tahun 2019 kegiatan ini tidak dijalankan oleh Lebah) gue kayak mulai dari awal lagi. Tapi untungnya, teman-teman Lebah yang udah gue anggap sebagai keluarga sendiri selalu ada setiap gue butuh bantuan. Singkat cerita, persiapan beres, dana terkumpul sesuai anggaran, dan kegiatan pun terlaksana sesuai dengan rencana.

Gue selalu puas dengan hasil kerja sama tim yang terjalin di Lebah ini. Tidak ada kerja satu orang karena semua dilakukan bersama-sama. Ketika ada satu kekurangan, yang lain pasti berusaha untuk memperbaikinya. Tidak ada yang ingin menonjolkan diri dan mencari nama, semua bahu-membahu. Tidak ada yang merasa senior, semua dirangkul supaya tidak ada jarak. Di Lebah, semua orang berada di tingkat yang sama, tanpa melihat latar belakang keluarga, status sosial, pendidikan, ekonomi, agama, dan hal-hal lain yang membuat sekat.

Melakukan kegiatan bersama Lebah itu seperti candu. Semakin sering dilakukan, maka semakin terasa kurang. Dan bercerita tentang Lebah itu pasti tidak akan ada habisnya 🙂

Serah terima 1200an buku berikut permainan edukatif, poster pendidikan dan peta ke mas Ni’am sebagai pegiat Rumah Ilmu Lebah (RIL) Lentera Simo
Foto bersama sebagai penutup kegiatan

…kembali bercerita…

Ternyata, gue baru menyadari bahwa selama 2019 kemarin gue sama sekali tidak menulis. Padahal, gue itu banyak sekali cerita yang ingin dituangkan jadi tulisan di sini. Mulai dari jalan-jalan, kehidupan setelah menikah (iya, akhirnya gue nikah juga!), pindah rumah, naik haji, banyak banget. Tapi ya, karena kalau mau nulis itu harus buka laptop dulu dan perlu ketenangan biar tulisannya mengalir , makanya walau sudah kepengen nulis, tapi akhirnya menguap aja gitu.

Nah karena itu, mulai hari ini, gue mau mulai rutin lagi cerita kayak dulu. Cerita dari yang sampah nggak penting sampe yang bisa jadi perenungan diri (tsaaaaaahh…) . Cerita pertama sebagai pembuka tahun 2020 akan ada di tulisan setelah ini 🙂

…setahun yang lalu…

Tepat setahun yang lalu di tanggal 26 November, menandakan dimulainya perjalanan darat gue dan Nonie ke beberapa taman nasional di Amerika Serikat. Selama hampir 3 minggu, kami berdua menjelajah 4 negara bagian dengan mobil sewaan, merasakan udara yang kadang tak sama dari satu tempat ke tempat lain (bahkan pernah dari tempat yang panas terik ke dingin menggigil dalam 1 hari), mengalami hal-hal yang bisa membuat kami tertawa atau bertanya-tanya tanpa kesimpulan berarti, banyak sekali kisah-kisah seru yang kami alami berdua dan kalau kami lagi kilas balik, pasti mencuat rasa rindu untuk kembali ke masa itu.

Gue tidak akan bercerita panjang lebar tentang hal-hal yang kami alami karena bakalan panjang banget. Tapi gue lebih pengen bercerita tentang teman seperjalanan, Nonie. Gue ini memang suka jalan-jalan, bisa cepat adaptasi kalau bertemu dengan teman baru di perjalanan, tapi untuk memutuskan jalan-jalan berdua, gue ini tipe yang sangat pemilih. Gue kenal Nonie dari komunitas sosial yang gue ikuti. Untungnya di Lebah itu, mengingat kegiatan sosial kami itu kebanyakan di luar Jakarta, sehingga cukup banyak kegiatan yang membuat kami menghabiskan waktu 24 jam lebih bersama karena kami harus pergi sehari sebelum kegiatan. Selain itu, di Lebah itu juga tidak melulu berkegiatan sosial, tetapi beberapa kali jalan/ piknik bersama. Jadi ketika sedang membahas Amerika dan keinginan Nonie untuk road trip, di saat itu pula gue langsung bilang ke dia untuk segera susun rencana. Gue merasa gue sudah cukup mengenal karakter Nonie, dan gue yakin kalau nggak akan ada kejadian berantem sama Nonie selama perjalanan.

Persiapan pun dilakukan, tapi yang paling efektif itu mungkin 1-2 bulan sebelum keberangkatan. Walau gue sudah paham karakter Nonie, tapi selama persiapan itu, gue beberapa kali bilang ke Nonie kalau kita nggak boleh berantem. Kenapa? Karena kalau kita berantem, pasti perjalanan akan nggak enak banget. Sementara untuk pulang dan cabut dari perjalanan itu susah, karena pasti jauh dari bandara, hahahaaaa… Gue sendiri yakin sih, kalau nggak akan ada kejadian berantem sama Nonie.

Dan ternyata, keyakinan gue itu terbukti. Selama perjalanan, nggak ada sedikit pun perselisihan. Nggak usah lah perselisihan yang besar, wong yang kecil aja nggak ada. Bahkan, gue merasa kami saling melengkapi. Ketika gue panik, dia yang menenangkan gue. Dan begitu juga pas dia lagi kelimpungan cari barang, gue yang gantian kalem. Kalimat yang paling sering diucap kalo lagi kejadian panik-panikan atau lupa taro barang di mana itu cuma dua, “Pasti bisa!” atau “Pasti ada!”. Gue suka sama orang-orang yang punya aura positif, dan Nonie tuh positif banget. Makanya, gue nggak merasa ada kejadian duka atau sedih selama perjalanan bersama itu. Plus, kami berdua itu orang yang sama-sama nggak ngoyo, nggak buru-buru dikejar waktu, nggak yang harus melakukan satu kegiatan di satu tempat misalnya, “Kita mesti kejar matahari terbit!” atau “Kita harus capai puncak Half Dome”. Semuanya mengalir aja, disesuaikan dengan situasi dan keadaan. Soalnya kan ada tuh orang yang ngoyo, dan tipe orang ini buat lelah hayati, hahahaaaaaa…

Banyak banget kejadian seru yang kami alami dan sering memunculkan rasa rindu untuk mengalami kejadian-kejadian seru bin kampret itu bersama kembali. Mudah-mudahan aja bisa kami bisa pergi bersama lagi, walau entah kapan 🙂

Navigator merangkap pemberi makanan biar nggak ngantuk 🙂

Dua anak stres ama cuaca, hahahaaa…

TKP lupa angkat karpet karet mobil, dan baru diambil 12 jam kemudian. Takjub nggak ada yang nyuri, hahahaaa…

Seneng banget dah dapat salju di musim gugur 🙂

Tiap mau makan, ya harus masak dulu

Kelakuan kalo udah bingung mau gaya apa lagi *orang gila*

Senangnya nggak perlu pake jaket!

Ekspresi kaget karena waktu mau swafoto, tiba-tiba orang Alaska datang untuk bantu motoin kita. 

 

 

 

…ketika cita-cita tercapai…

Waktu gue SMP, ketika gue ditanya apa cita-cita gue, gue bilang kalau gue ingin keliling Indonesia, ke 27 provinsi (Ya! Indonesia di akhir 80an cuma punya 27 provinsi, gak 34 kayak sekarang). Gue pengen jadi pemandu wisata supaya gue bisa keliling Indonesia gratis, hahahaa. Gue merasa kalau dalam hal cita-cita, gue bukan kayak anak alay pada umumnya yang suka berubah haluan. Masuk SMA, memang gue ada keinginan untuk menjadi arkeolog. Tapi alasan di balik itu juga supaya gue bisa menjelajah Indonesia dan mencari benda-benda purbakala, menelisik sejarah Indonesia di masa lalu. Masih ada hubungannya dengan berkelana di daerah-daerah di Indonesia. Sayangnya, guru sejarah gue memberi gue kenyataan pahit, bahwa menjadi arkeolog di Indonesia itu tidak akan pernah dihargai dan tidak akan menghasilkan uang untuk bertahan hidup. Tapi, terima kasih lho, bu! Karena apa yang ibu katakan tentang profesi arkeolog itu benar adanya.

Kembali lagi ke cita-cita gue untuk jadi pemandu wisata, ok? Sebagai orang tua yang baik, maka pas gue mau naik kelas 2 SMA, bapak ibu gue mencari tahu sekolah yang cocok untuk mewujudkan cita-cita gue itu. Akhirnya didapatlah satu sekolah, namanya Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung, dan gue diberi tahu mengenai sekolah ini sama bapak dan ibu. Pas liburan kenaikan kelas, gue diajak mereka ke Bandung untuk melihat langsung sekolah ini. Gue benar-benar makin yakin untuk sekolah di STPB setelah gue lihat langsung dan mengagumi betapa kerennya seragam mahasiswa di situ.

Singkat cerita, gue sekolah di STPB walau tidak di jurusan pariwisata sesuai keinginan gue karena bapak maunya gue ambil D-IV perhotelan. Setelah lulus, gue pun tidak kerja di industri perhotelan karena pas gue lulus, Indonesia lagi dilanda krismon. Jadi alih-alih merekrut pegawai, industri tersebut malah kembang-kempis, berusaha bertahan hidup dengan memecat banyak karyawan. Gue pun banting setir, bekerja di bidang yang tidak sesuai cita-cita, bahkan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Satu hal yang amat sangat gue syukuri bahwa gue kuliah di STPB itu adalah, sekolah ini sangat menempa mental gue, membuat gue nggak kaget akan dunia kerja. Jika dibandingkan dengan lulusan universitas lain, lulusan STPB angkatan gue dan beberapa tahun di bawah gue, masih terbilang bermental baja, bisa ditempatkan di segala situasi, nggak cengeng kayak anak-anak milenial yang bentar-bentar ngadu ke orang tuanya terus orang tuanya menghadap sekolah dan petantang-petenteng (bahkan orang tua yang lulusan STPB itu lebih bermental baja dalam mendidik anaknya, nggak kayak orang tua lainnya yang rempong, yang rumpian, yang bentar-bentar ngatur sekolah anaknya #kenyataan #alumnienhaiijuwarak #maapkalocarigaragara  #makanyajangansukapostingdimedsosbiargakkeliatankalolorempong).

Tapi, bukan berarti bekerja di bidang yang tidak gue sukai sama dengan mengubur cita-cita gue untuk keliling Indonesia. Gue masih meluangkan waktu untuk berlibur menikmati keindahan Indonesia. Terutama setelah gue tidak bekerja kantoran lagi, gue punya fleksibilitas waktu yang sangat tinggi, memungkinkan gue untuk berilbur kapan saja gue mau, selama anggaran liburannya sesuai, hahahaaa (ini penting!). Gue berlibur bisa sendiri saja, bersama ibu, beberapa teman dekat, atau bahkan sekumpulan teman yang benar-benar gue baru kenal saat mau berilbur.

Akhirnya pada Juni lalu, gue pun bisa mencapai keinginan gue untuk menjejakkan kaki ke 34 provinsi yang ada di Indonesia. Gue sendiri merasa kalau tempat-tempat yang gue datangi itu masih tergolong destinasi mainstream, walau ada beberapa tempat yang memang cukup anti-mainstream karena perjalanannya cukup melelahkan atau memang tidak banyak yang tahu bagaimana menuju ke destinasi tersebut.

Jika ditanya tentang perasaan gue setelah mewujudkan cita-cita gue, tentu gue akan jawab kalau senang luar biasa. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan proses dalam mewujudkan cita-cita itu. Menikmati tempat-tempat indah Indonesia; berkomunikasi dengan warga setempat; melihat lingkungan yang kadang cukup membuat miris dan berkata dalam hati, “Seandainya gue punya duit banyak, gue akan…”; segala pengalaman mengesankan, mulai dari pengalaman baik, buruk, menegangkan, hampir mati, lucu, semua itu yang menurut gue lebih penting untuk diingat dan dirasakan.

Ada yang bertanya ke gue, mana tempat yang paling bagus dari semua tempat yang sudah dikunjungi. Terus terang gue nggak bisa jawab, karena Indonesia ini surganya tempat-tempat indah. Memang ada tempat yang biasa saja, yang hanya terlihat bagus dalam foto, tapi itu hanya sebagian kecil. Yang jelas, laut Indonesia itu sungguh sempurna! Itulah mengapa hingga detik ini, gue tidak pernah mau yang namanya berlibur ke pantai/laut di luar negeri, karena tidak ada yang menyamai keindahan laut Indonesia. Gue bahkan pernah satu minggu di Hawaii (gue bahkan lupa nama pulaunya), dan tidak satu kali pun gue menjejakkan kaki di pantai mereka yang konon kata indah dan wajib didatangi itu, hahahaaa.

Indonesia itu surganya keindahan alam. Walau tak jarang harus merogoh kocek lebih dalam untuk datang ke tempat-tempat tersebut dibandingkan pergi keluar negeri, tapi gue lebih puas jika gue pergi ke tempat tersebut dibandingkan keluar negeri. Mungkin nasionalis gue receh, tapi dengan berilbur, gue sangat bersyukur kalau gue dilahirkan sebagai orang Indonesia, negeri super kaya ini, dan bertekad untuk berkontribusi membangun negeri ini, entah bagaimana caranya.

Jadi, pergi ke mana lagi kita?

…kurang peka…

Beberapa hari lalu, gue bertemu teman-teman lama. Salah satu teman gue barusan kehilangan istrinya karena sakit (Al Fatihah untuk dia). Semasa hidupnya, si istri ini menjadi tempat curhat teman-temannya. Lalu teman gue bercerita, bahwa pada saat istrinya dirawat di RS, yang sudah dalam keadaan sulit berbicara, masih ada beberapa teman istrinya yang datang menjenguk, tapi alih-alih bertanya tentang keadaannya, mereka malah curhat kehidupan diri dan membuat istrinya kurang istirahat.

Hal lain yang diceritakan oleh teman gue, ketika istrinya meninggal, dalam keadaan berduka, ada saja teman-temannya yang bertanya mendetail mengenai kenapa bisa meninggal, sudah berapa lama sakit, dan berbagai pertanyaan tetek-bengek lainnya yang (mungkin) menurut sebagian orang merupakan pertanyaan wajar.

Entah bagaimana dengan kalian, tapi menurut gue, apa yang sudah dilakukan temannya teman gue ke dia atau istrinya itu bukan hal yang sepantasnya. Adabnya ketika menjenguk, pusatkan perhatian pada yang sakit, hibur, beri semangat kepada pasien atau penunggu, panjatkan doa untuk kesembuhannya, bukan malah membawa setumpuk persoalan hidup yang tidak ada manfaatnya. Sementara adab orang yang melayat itu ya mendoakan agar almarhum/almarhumah mendapat jalan yang lapang. Nggak perlulah bertanya-tanya mendetail tentang bagaimana dia meninggal, sejak kapan sakit (jika melalui sakit terlebih dahulu), dan hal-hal lain yang membuat jengah mereka yang ditinggalkan, tapi tidak bisa diutarakan langsung karena sungkan, khawatir menyinggung si penanya.

Dari dua hal yang diceritakan teman gue itu, ada satu benang merah, bahwa kepekaan manusia terhadap sesuatu itu sudah musnah. Gue tidak menyamaratakan, tapi coba lihat sekitar, betapa banyak pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat bagi kehidupan sang penanya, tapi tetap ditanyakan hanya karena mereka merasa itu merupakan sesuatu hal yang wajar. Tak jarang, menjadi sesuatu yang wajar pula untuk diteruskan ke pihak lain, yang belum tentu juga mengenal pribadi orang tersebut, dan belum tentu juga tidak keberatan bila informasi yang dia berikan itu diteruskan ke pihak lain.

Gue selalu mengukur ke diri gue, dan sebelum melontarkan pertanyaan-pertanyaan nggak penting, biasanya gue tanya ke diri sendiri, apakah gue suka atau keberatan apabila ditanya orang lain mengenai A, B, C, D? Jika melihat cerita teman gue, apa susahnya sih, cukup mendoakan tanpa perlu tahu detail? Apa susahnya, cukup berniat datang menjenguk dan simpan curhatnya barang sejenak? Janganlah hidup sebagai orang yang egois. Berempati dan bersimpatilah sedikit. Nggak susah kok. Cukup biasakan diri untuk membaca situasi, belajar untuk memposisikan diri kita ke orang lain, belajar untuk menahan diri dengan tidak mengajukan sejumlah pertanyaan yang sebenarnya tidak ada manfaat bagi kehidupan diri sendiri, belajar untuk lebih banyak mendengar.

Banyak bertanya tidak berbanding lurus dengan peduli, dan tidak bertanya bukan berarti cuek.

…pukul delapan di Minggu pagi…

Pukul 8 pagi
Ini hari Minggu
Tidak ada suara lain
Hanya rintik hujan

Hujan itu menyenangkan
Tapi tidak kali ini
Ketika kenangan tak mau enyah
Menjelajah dengan riang gembira

Lembaran yang lalu enggan ditutup
Walau dipaksa, tetap menyeruak
Namun sampai kapan?
Tak seorang pun tahu

Pilukah?
Atau sekadar celah rasa
Menuju bahagia
Semu tapi nyata?

Entahlah…

…tertawalah…

Tersenyum
Itulah yang tersisa
Walau terhempas
Dalam jurang asa yang pernah ada

Usah lara
Luka ini bukan yang pertama
Lama-lama juga terbiasa
Berkubang getir seraya tertawa

…suffocated…

The clock is ticking
And the night…
Oh, it crawls slowly to dawn
To morning
 
Wide awake
Mind wanders
To the past and future
To you
 
The planned encounter
Time spent
Nights and days
Yet, the unexpected feeling
 
If only I could freeze the time
Or push you away
But I’m helpless
Suffocated…

…the question of home…

To begin 2018, although it’s a bit late as it’s already 13 days passed the New Year, I wanna start it with a serious unanswerable blog.

So while I’m traveling, I get this question quite a lot, “Where is your home?”. To make it simple and quick, I usually answer with Jakarta as that’s where I live. But if they have the time to hear a longer version, I sometimes said, “I don’t know where my home is” and I have to give them a couple of reasons why.

There are a lot of definitions of home, and it all depends on their perspective. One thing is definite, Jakarta is not my home. Few people who are close to me (apart of my family) know that I don’t like the city and planning to get out from the city as soon as I can. Despite the fact that my mom and my other sister live in Jakarta, I have many friends there,  I love how easy it can be to get the food from an app (Go inside Gojek app, click, click, click, voila! Your food is delivered at your house), but I don’t like the vibe and the people (my friends are not included).

I’m not trying to generalize Jakartan, that’s what people of Jakarta usually called,  but I feel that most of them are suspicious, selfish, ignorant, and in a race of being in the top or try so hard to be outstanding among the crowd (e.g. going to a hip place, wearing the latest trend of fashion, having the most expensive stuffs, etc.). Let me give you a simple situation. You are waiting for an elevator, there are other people waiting for that same elevator. One of them greets and smiles at you. Will you greet that person back sincerely or you greet that person back but in the back of your mind, you are questioning the kind gesture, “Why is he doing that? Is he nuts?” Most Jakartans would never greet that person back. Instead, they would give you a look saying, “Don’t greet me, you moron!” Some of you might say I’m exaggerating, but look around you, observe.

I can’t deny the fact that Jakarta is the place where I grew up (FYI, I wasn’t born in Jakarta), the place where I used to work, and the place where I found my close friends. But other than that, it’s just the city that I don’t quite like. The idea of home for me is when you are away, you miss the place, not only missing the family, friends, food or your own room. Home is a place where you can feel the warmth of everything, the sincerity of the people, the place where you don’t wanna go away for so long. and the place where you can project yourself spending the remaining times of your life there.

So where is my home? I still haven’t found it yet…

…pengalaman nyaris…

Di tahun ini, gue nggak gitu banyak melakukan perjalanan di Indonesia. Tapi Alhamdulillah, gue bisa menambah 2 provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara dan Papua. Dengan demikian, gue kurang dua provinsi lagi untuk menuntaskan Indonesia, yaitu Aceh dan Gorontalo. Tentu saja, walau nantinya dua provinsi itu sudah didatangi, tetap saja Indonesia nggak bakal tuntas karena terlalu banyak tempat yang patut dikunjungi.

Nah, gue mau cerita di sini tentang apa yang gue alami waktu di Baliem, provinsi Papua. Cerita ini tentang pengalaman nyaris mati yang ketiga kalinya. Ha ha, iya! Setelah dipikir-pikir, kilas balik perjalanan gue selama ini, kayaknya gue tuh udah mengalami kejadian nyaris mati sebanyak 3 kali.

Pertama, waktu ke Derawan yang gue terombang-ambing di laut, udah teriak minta tolong tapi penumpang di tiga kapal itu nggak ada yang denger, dan akhirnya, ada juga salah satu penumpang yang melihat dan nyuruh kapalnya mendekat. Jangan tanya ke mana operator turnya, karena dia sibuk sendiri deketin cewek, sementara peserta yang dibawa ada 40an.

Kedua, waktu paralayang di Palu. Kalo orang-orang itu biasanya mengalami kejadian susah mendarat, nah ini gue mengalami kejadian gagal naik. Buat orang yang pernah tandem paralayang pasti tahu, kalau posisinya adalah elo di depan, tandem elo di belakang, dan ada satu orang yang bertugas narik tali elo terus ngelepasin supaya bisa terbang. Nah, orang yang bertugas narik tali gue itu ternyata orang baru. Udah bolak-balik disuruh ngelepasin talinya sama tandeman gue, masih tetap aja dipeganging. Hasilnya? Yaaaah, lumayan lah ya, terguling-guling di tanah berpasir 5 kali lebih, dari ketinggian yang gue nggak tahu lagi berapa tinggi dengan kemiringan 40-50 derajat, dan akhirnya, gue melihat ada sebatang pohon kering yang pendek tapi kokoh untuk pegangan gue dan buat gue berhenti. Ketika berhenti, ini dua orang lelaki menimpa badan gue ditambah dengan perlengkapan paralayang. Jadi nggak usah ditanya lagi betapa beratnya. Berat banget!

Nah yang ketiga ini yang paling epic karena melibatkan banyak orang, ha ha! Waktu itu hari terakhir nonton festival Baliem. Festival ini diadakannya tiga hari dan di hari pertama serta kedua, gue selalu keliling arena, nggak pernah duduk di tribun penonton. Di hari terakhir itu, berhubung kami datangnya lebih pagi, jadi lebih banyak meluangkan waktu untuk duduk di tribun. Sekitar pukul 10 lewat, Suku Trikora yang berjalan 7 hari 7 malam memasuki arena, mempertunjukkan kebolehan mereka, dan gue pun berdiri dari tribun, motret di pinggir lapangan. Nggak lama, gue kembali ke tribun, melanjutkan makan kacang kulit yang tertunda karena motret tadi.

Untuk gambaran, jarak tribun ke lapangan itu sekitar 10 meter. Gue duduk di baris pertama tribun. Posisi kacang kulit ada di sebelah kiri gue, tepatnya di sebelah paha. Saat itu, gue lagi nengok ke kiri, ambil kacang, dan pas kepala gue menengok ke arah depan, gue lihat ada tombak kayu dengan kecepatan tinggi mengarah ke gue. Gue syok, syaraf refleks gue mendadak lumpuh. Dan mak jedar! Area leher gue kena itu tombak, tapi tombak kayunya langsung memantul dan gue cuma bisa nekan area yang kena tombak sambil bilang, “Aku kena tombak”.

Mbak Rita, teman makan kacang kulit yang duduk di sebelah kiri syok. Langsung semua orang merubung, dan yang di pikiran gue saat itu cuma satu, kehilangan pita suara. Jadilah gue langsung ngucap “A, I, U, E, O” macam orang mau latihan vokal dan lega banget ketika gue bisa mendengar suara gue sendiri. Berarti pita suara gue aman. Teman serombongan langsung ngumpul (untungnya di rombongan itu banyak banget yang berprofesi dokter, jadi gue merasa lebih tenang) dan berusaha memberikan berbagai bantuan. Ada yang manggil panitia, tapi mau tahu nggak, panitia angkat tangan, nggak mau tanggung jawab. Gue inget banget ada beberapa penonton yang videoin gue yang lagi megangin leher, mungkin masuk ke live story akun medsos dia, terserah deh, udah nggak peduli juga. Gue saat itu hanya berusaha nggak pingsan, karena gue khawatir banyak darah keluar. Tapi setelah mbak Ria cek, dia bilang nggak gitu banyak darah yang keluar. Berhubung gue sekamar sama Doksin dan Doksin yang lebih paham sama keadaan gue, langsung deh pada nyari Doksin yang lagi melihat atraksi di tempat lain. Gue jauh lebih tenang setelah Doksin datang.

Untungnya, walau panitia tidak mau bertanggung jawab, tapi mereka punya tenda medis, dan ada orang medis yang datang ngecek. Gue diajak ke tenda medis mereka, dan sampe di tenda, ditanya-tanya ama Doksin tentang peralatan yang mereka punya, akhirnya diputuskan untuk ke RSUD terdekat. Concern Doksin cuma satu, ada racun di tombaknya. Tapi menurut petugas medis, hal itu nggak mungkin banget. Pas banget mau pergi, ternyata ada pengumuman dari MC kalo balapan babi mau dimulai. Duh, gue nggak enak banget ama Doksin karena tujuan datang lebih pagi ke festival itu kan karena mau lihat balapan babi juga. Tapi Doksin bilang kalau balapan babi nggak penting dibandingkan ke RSUD.

Akhirnya bertiga ke RSUD dengan ambulans yang sirenenya nggak ada, jadi sepanjang jalan itu nyalain klakson aja. Nah di sepanjang jalan itu juga, gue berasa banget kalo semakin lama, gue semakin sulit menelan ludah sendiri. Ini rasanya lebih parah dari radang tenggorokan. Gue harus tahan napas dan butuh sekitar 10 detik untuk menelan ludah, plus ada tambahan sakit kepala setiap nelan. Belum lagi jendela ambulans ini nggak bisa ditutup, sehingga udara kering dan debunya membuat batuk. Dan, karena ranjang medisnya lagi ada entah di mana, jadi nggak bisa tiduran di belakang, alih-alih duduk bertiga di depan semua, sementara kaki gue panjang banget, jadi yaaaaaaaa, mayan mati rasa lah paha ke bawah, hahahaaaaa…

Sesampainya di RSUD, langsung dibawa ke UGD. Pas dokter jaganya masuk ke ruangan UGD, ternyata masih muda bangeeeeeeet. Dia dokter PTT yang kuliah di universitas swasta di Jakarta. Karena Doksin udah dokter senior, kayaknya dia juga jiper yaaaa. Ya gue sih emang terus terang lebih percaya ama Doksin daripada apa yang diucapin nih dokter PTT. Akhirnya, dokter jaganya itu nyuruh 2 staf UGD utk ngurusin gue. Waktu dilihat pertama kali ama ni dokter jaga, katanya gak perlu dijahit, cukup dibersihkan saja. Nah terus, dokter ini keluar, kembali ke ruangannya sementara 2 stafnya lagi ambil peralatan. Trus Doksin ngecek ulang pake senternya, dan menurut pendapatnya, luka gue perlu dijahit karena cukup dalam. Langsung lemes lah ya gueeeee, tapi daripada gue nggak sembuh, gue pasrahin semuanya ke Doksin. Pertanyaan gue sih cuma satu pas waktu harus operasi, apakah akan mengganggu jadwal trekking, secara keesokan harinya itu, gue mau trekking Wamena 5 hari. Untuuuuuuung aja dijawabnya kalau aman untuk trekking. Kalau pun nggak aman, gue akan tetep jalan sih, hahahaaaaaaa…

Akhirnya persiapan pun berubah. Dari yang tadinya cuma mau bersihin luka jadi menjahit. Tuh dokter jaga udah nggak muncul lagi, jadi cuma 2 staf ini. Ada kejadian kocak, well, sebenarnya nggak kocak sih, agak malah buat parno, hahahaa. Jadi, ketika selesai bersihkan luka dan harus dijahit, ini yang bertugas menjahit bilang, “Duh, tangan saya mendadak gemetar, grogi diliatin.” Segitu kencengnya nih aura kesenioran Doksin, sampe tuh staf grogi berat. Lalu diganti lah sama yang satunya, trus pesannya Doksin satu, “Kamu jangan gemeteran juga ya.” Gue yang cuma dibius lokal tapi nggak ada kekuatan lagi cuma meringis pengen lempar jarum jahit ke tuh staf. KZL.

Operasi berjalan lancar, dan selama itu, Doksin ada di samping gue terus. Habis operasi, Doksin juga ngurusin BPJS dan obat-obatan (untungnya abis bayar BPJS, jadi semuanya gratis). Selesai operasi, langsung kembali ke hotel dan istirahat. Gue nggak ngerti ya, kalo nggak ada Doksin, bakal gimana nasib gue. Selain itu, gue bersyukur banget jalan ama rombongan ini yang bener-bener perhatian banget ama gue. Atensinya tuh nggak dibuat-buat, beneran tulus dan itu berasa banget. Gue jadi nggak enak hati malah karena jadinya ngerepotin. Mulai dari beliin makanan, ngecek ke kamar, bener-bener kasih perhatian yang besar.

Singkat cerita, gue bisa menelan ludah seperti biasa dalam waktu 1Ă—24 jam, bisa trekking tanpa halangan, bisa liburan ke tempat-tempat lain, tapi luka di leher gue meninggalkan bekas keloid karena gue anaknya keloidan banget (apeeeeeee lagiiii).

Yah, mudah-mudahan aja ini terakhir kalinya gue bersinggungan dengan pengalaman kayak gini. Semoga di tahun 2018 dan seterusnya, liburan gue nggak perlu ada yang kejadian yang kayak begini, hahahahaaaaa…

Tolong diaminkan yang kencang ya, sodara-sodara sebangsa setanah air yaaaaaaaaaaaaaa… 🙂

Sapa tahu balik lagi ke RSUD ini (mudah-mudahan sih nggak perlu balik yaaaaaaaa…)

Seminggu setelah operasi 🙂

Keadaan sekarang

 

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial