…akhirnya merasakan…

Yak!

Akhirnya hari ini gue bisa merasakan bagaimana kerja untuk lokakarya daring. Selama ini, gue kan hanya mendengar dari teman-teman gue yang jadi juru bahasa tentang suka-duka bekerja untuk pertemuan daring. Gue sih bukan kerja sebagai juru bahasa (bisa mati berdiri gue, bos!), tapi sebagai notulis.

Walau sudah ada briefing dua hari sebelumnya, tapi gue cukup deg-degan karena khawatir ada masalah di koneksi, rekaman, dsb. Entah kenapa, kalau gue akses Zoom dengan laptop, pasti ada aja kejadian hilang sinyal. Makanya 30 menit sebelum mulai acara, gue udah sibuk atur strategi. Gue cukup bersyukur karena gue ada ponsel yang nggak terpakai, punya alat perekam, dan pengeras suara. Jadi strategi gue adalah akses utama gue ke Zoom pakai laptop, pengeras suara dan akan merekam suara dari ponsel sehari-hari gue. Sementara untuk cadangannya, gue akan akses Zoom lewat ponsel cadangan dan merekam suaranya dengan alat perekam portabel.

Gue senang banget karena acara pembukaan berjalan lancar. Tapi mulai masuk ke acara kedua, Zoom di laptop gue mulai cari gara-gara. Gue yakin karena koneksi, makanya gue putuskan tethering ama ponsel. Eh ternyata, baiknya cuma sebentar. Untung banget lagi giliran tandeman gue yang buat notulen, jadi gue bisa utak-atik sambil mikir. Akhirnya ponsel yang fungsi awalnya merekam suara dari laptop harus jadi sarana utama untuk akses Zoom. Urusan alat beres sudah.

Tapi, masih ada kendala lain. Ternyata suara juru bahasa dan narasumber bertabrakan, sementara gue harus mendengarkan suara dari juru bahasa. Asli kacau sih itu. Untung aja tabrakan suaranya nggak lama, tapi masalahnya, kejadian tabrakan ini cukup sering karena tiap ganti pembicara baru, mereka nggak ngerti harus ngapain supaya nggak tabrakan.

Di luar kendala teknis, menurut gue, kerja daring begini lebih banyak enaknya daripada nggak enaknya. Kenapa? Karena yang pertama, gue nggak perlu munculkan muka. Tapi gue sih tetap rapih, berpakaian batik dan blazer biar suasana kerjanya dapat. Nah karena nggak memunculkan muka, jadinya pas bukan giliran gue untuk buat notulen. gue bisa sambi dengan makan, masak, mondar-mandir ke kulkas, ngemil, toilet.

Secara keseluruhan, pengalaman pertama gue hari ini sungguh menyenangkan. Kalau ada lagi tentunya gue nggak akan nolak. Ya iya laaaahh, rezeki nggak boleh ditolak dong.

Sekarang sudah malam. Badan enak banget selonjoran kena tempat tidur setelah duduk aja nyaris 9 jam. Saatnya tidur untuk memulihkan tenaga supaya besok nggak loyo.

Yuk, mari kita bobo….

… empat agustus…

Kalau bapak gue masih hidup, hari ini dia akan merayakan ulang tahun yang ke-79 (menurut KTP). Kenapa menurut KTP? Karena menurut cerita ibu dan bapak, bapak gue itu lahirnya tahun 1942. Tapiiiiii, berhubung ibu gue itu kelahiran tahun 1940, bapak cari jalan tengah biar gak jauh banget bedanya. So, voila! Dibuatlah dua-duanya lahir di tahun 1941.

Kocak juga sih kalau dipikir-pikir. Soalnya zaman sekarang sepertinya sudah lumrah kalau cowoknya lebih muda dari ceweknya. Tapi mungkin dulu masih belum banyak. Coba kalau Suzanna eranya sama ama bapak dan ibu gue, mungkin nggak bakal ada tuh drama ganti tahun lahir ini. Buat yang nggak tahu Suzanna, beda usia dia dan suaminya, Cliff Sanggra itu 17 tahun! Itu ibaratnya, lo nikah usia 16 tahun, trus hamil, dan punya anak usia 17, nah Cliff ini adalah anak pertama lo.

Tapi sudahlah, ngapain juga bahas Suzanna, nggak penting. Mending bahas bapak gue aja. Foto ini waktu dia kira-kira usia 22-24 tahun, masih di Marinir. Ini gue simpen di dompet gue. Jadi, ke mana pun gue pergi, dia selalu ikut. Tiap ambil duit di dompet, wajahnya yang pertama kali terlihat. Dia juga saksi bisu ketika dompet gue menangis karena nggak ada duit tersisa, hahahaha…

Anyway, bapak gue ganteng yak! Selamat ulang tahun ya, pak Baso…

…80 tahun di dunia…

Hari ini ibu Tjuk tepat berusia 80 tahun. Gue nggak pernah membayangkan akan hidup selama ibu. Tapi, gue juga nggak pernah bisa membayangkan kalau ibu tidak akan hidup selamanya. Untuk orang berusia 80 tahun, ibu cukup sehat. Keluhan yang dialami masih wajar-wajar saja, kayak sering lelah, punggung udah nggak bisa lurus lagi, kalau jalan udah nggak bisa cepat. Tapi di luar itu, ibu itu masih fit. Ya gimana yaaaaaaaaa, secara masih bisa bersihin kamar mandi sendiri, masih colongan naik tangga, potong rambut sendiri, dan yang juara itu ya masih bisa manjat pohon jambu!

Tahun ini, sebenarnya gue udah berencana untuk bawa ibu ke Masjidil Aqsa sebagai hadiah ulang tahun. Kalo tahun lalu kan hadiah ulang tahunnya berlibur ke Jepang karena ibu itu cerita kalo sejak muda belia, ibu ingin sekali lihat sakura dan budaya Jepang. Nah kenapa tahun ini gue pengen bawa ke Aqsa? Karena itu keinginan dia sejak dia pergi umroh pertama kali ama bapak. Tapi apa mau dikata. Manusia hanya bisa berusaha, tapi Tuhan yang berencana. Kami tiba di Jordan (sebagai tempat transit sebelum masuk Aqsa) siang hari pada tanggal 8 Maret, dan ternyata Jordan mengeluarkan larangan untuk menyeberang Israel tanggal 8 Maret di malam hari. Jadi mau nggak mau, kita hanya bisa jelajah Jordan. Kekecewaan jelas tergambar di raut wajah ibu, tapi mau bagaimana lagi? Kita hanya bisa pasrah ngalah, nrimo. Persoalan Corona ini benar-benar udah di luar kendali.

Gue sih masih berharap bisa bawa ibu ke Aqsa setelah semua urusan Corona ini selesai. Mudah-mudahan aja gue diberi kesempatan untuk mewujudkan keinginan ibu. Mohon doanya supaya ibu Tjuk selalu diberi kesehatan, dijauhkan dari penyakit, bahagia dan bisa menjejakkan kaki ke Aqsa yaaaaaaaaaaa…

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial