… sampai jumpa…

Dua hari yang lalu, gue mengantar mbak Desy ke bandara. Setelah hampir 3 minggu di Jakarta, saatnya dia balik ke Arlington, kembali menjalani hari dan rutinitasnya.

Terus terang, gue orang yang nggak suka dengan momen perpisahan. Padahal kalau dipikir-pikir, gue kan terhitung cukup sering bepergian, jadi seharusnya gue udah terbiasa dengan momen ini. Tapi entah ya, selalu ada perasaan kehilangan yang sama yang nggak gue sukai. Keesokan hari setelah perpisahan tuh pasti terasa sekali ada yang hilang. Makanya gue kadang mencoba menyiasatinya dengan mengucapkan kata, “I’ll see you soon“, dan bukan bilang, “Goodbye“. Cuma ya kadang tetap aja nggak ngaruh sih, hahahaa.. KZL!

Perasaan kehilangan itu akan lebih terasa ketika waktu kebersamaannya lebih lama. Mau itu pas liburan bareng teman-teman dekat ke suatu daerah, pas liburan sendiri dan mengunjungi teman (kadang menginap untuk beberapa waktu, bermain sama keluarga dan teman-temannya), atau pas kakak dan keponakan gue lagi datang berlibur. Sehari sebelum bubar jalan tuh biasanya suka mikir, kapan lagi ya bisa ketemuan. Gue juga tuh perlu waktu lagi untuk menyesuaikan diri ke keadaan sebelum perpisahan terjadi. Itu juga mungkin yang jadi salah satu alasan kenapa sebisa mungkin gue menghindari perpisahan.

Tapi ya, macam pepatah aja. Di mana ada pertemuan, di situ ada perpisahan. Ini sesuatu yang takkan mungkin dihindari. Tinggal gimana pinternya kita ngatur suasana hati. Perjalanan panjang untuk bisa kendalikan suasana hati. Kadang bisa dikontrol, kadang nggak. Kalo lagi nggak bisa, byaaaaaar, keran nangisnnya bocor deeeehh…

…akhirnya merasakan…

Yak!

Akhirnya hari ini gue bisa merasakan bagaimana kerja untuk lokakarya daring. Selama ini, gue kan hanya mendengar dari teman-teman gue yang jadi juru bahasa tentang suka-duka bekerja untuk pertemuan daring. Gue sih bukan kerja sebagai juru bahasa (bisa mati berdiri gue, bos!), tapi sebagai notulis.

Walau sudah ada briefing dua hari sebelumnya, tapi gue cukup deg-degan karena khawatir ada masalah di koneksi, rekaman, dsb. Entah kenapa, kalau gue akses Zoom dengan laptop, pasti ada aja kejadian hilang sinyal. Makanya 30 menit sebelum mulai acara, gue udah sibuk atur strategi. Gue cukup bersyukur karena gue ada ponsel yang nggak terpakai, punya alat perekam, dan pengeras suara. Jadi strategi gue adalah akses utama gue ke Zoom pakai laptop, pengeras suara dan akan merekam suara dari ponsel sehari-hari gue. Sementara untuk cadangannya, gue akan akses Zoom lewat ponsel cadangan dan merekam suaranya dengan alat perekam portabel.

Gue senang banget karena acara pembukaan berjalan lancar. Tapi mulai masuk ke acara kedua, Zoom di laptop gue mulai cari gara-gara. Gue yakin karena koneksi, makanya gue putuskan tethering ama ponsel. Eh ternyata, baiknya cuma sebentar. Untung banget lagi giliran tandeman gue yang buat notulen, jadi gue bisa utak-atik sambil mikir. Akhirnya ponsel yang fungsi awalnya merekam suara dari laptop harus jadi sarana utama untuk akses Zoom. Urusan alat beres sudah.

Tapi, masih ada kendala lain. Ternyata suara juru bahasa dan narasumber bertabrakan, sementara gue harus mendengarkan suara dari juru bahasa. Asli kacau sih itu. Untung aja tabrakan suaranya nggak lama, tapi masalahnya, kejadian tabrakan ini cukup sering karena tiap ganti pembicara baru, mereka nggak ngerti harus ngapain supaya nggak tabrakan.

Di luar kendala teknis, menurut gue, kerja daring begini lebih banyak enaknya daripada nggak enaknya. Kenapa? Karena yang pertama, gue nggak perlu munculkan muka. Tapi gue sih tetap rapih, berpakaian batik dan blazer biar suasana kerjanya dapat. Nah karena nggak memunculkan muka, jadinya pas bukan giliran gue untuk buat notulen. gue bisa sambi dengan makan, masak, mondar-mandir ke kulkas, ngemil, toilet.

Secara keseluruhan, pengalaman pertama gue hari ini sungguh menyenangkan. Kalau ada lagi tentunya gue nggak akan nolak. Ya iya laaaahh, rezeki nggak boleh ditolak dong.

Sekarang sudah malam. Badan enak banget selonjoran kena tempat tidur setelah duduk aja nyaris 9 jam. Saatnya tidur untuk memulihkan tenaga supaya besok nggak loyo.

Yuk, mari kita bobo….

…masker (bukan bengkoang)…

Sejak wabah Covid ini mulai merebak, pemerintah dan berbagai lembaga gencar sekali menyuruh warganya untuk pakai masker. Awalnya dianjurkan pakai masker medis, makanya sempat ada masa ketika masker hilang dari pasaran. Terus berubah lagi jadi masker kain karena yang medis diutamakan untuk tenaga medis dan mereka yang sakit.

Terus terang aja, gue nggak bisa pakai masker medis ijo itu. Kenapa? Karena bahannya buat gue jerawatan. Asli! Jadi gini… Kalian tahu kan kalo waktu awal-awal Gojek masih cari pelanggan, semua pengemudinya taat prosedur. Sebelum naik, mereka akan kasih masker ke penumpang. Gue sebagai penumpang yang taat aturan (tsah!) ya terima-terima aja. Nah tapiiiiii, efeknya tuh gue besok langsung jerawatan. Gue tuh nggak pernah mikir kalau ini karena masker, tapi jarena jalanan yang sangat berdebu. Cuma, setelah 3x gue pake masker kain dan berujung dengan jerawat keesokan harinya, sementara kalo pake masker kain yang karetnya kayak pinggiran celana dalam itu gue aman-aman aja Jadinya gue simpulkan sendiri, kalau ada kandungan di masker medis itu yang nggak cocok di muka gue. Padahal ya, gue kan dulu mahasiswa suka dipanggil Badak, harusnya kulit gue juga sekuat badak (ini sedikit nggak nyambung, sodara-sodara).

Ada untungnya juga gue nggak bisa pakai masker medis, jadinya gue punya alasan untuk beli masker kain dengan berbagai motif. Zaman gue masih suka naik Comm Line, gue seneng banget beli masker yang dijual di depan stasiun. Udahlah motifnya batik, agak tebal, trus murah (ini penting!).

Sekarang, masker menurut gue udah jadi statement of fashion. Banyak banget yang buat masker dengan motif lucu. Kalo gue milih mau beli masker, motif itu nomor dua. Yang paling penting di gue adalah maskernya harus tali yang diikat atau serut (adjustable loop). Gue nggak bisa pakai masker yang talinya disangkut ke leher. Selain ribet karena gue pake kerudung, yang jelas, kuping gue akan langsung merah, gatal dan kadang bisa pusing seharian. Ngeselin banget emang, hahahaa…

Tadi pagi gue iseng, menata sambil hitung ada berapa masker gue. Ternyata ada 21, gaeeeessss… Ada beberapa masker yang emang udah lama gue punya, tapi emang sebagian besar baru gue beli beberapa waktu terakhir ini.

Well, meminjam kata teman gue yang pembuat masker (dan gue jadi pelanggan tetapnya), “It’s never too many for these days”.

… empat agustus…

Kalau bapak gue masih hidup, hari ini dia akan merayakan ulang tahun yang ke-79 (menurut KTP). Kenapa menurut KTP? Karena menurut cerita ibu dan bapak, bapak gue itu lahirnya tahun 1942. Tapiiiiii, berhubung ibu gue itu kelahiran tahun 1940, bapak cari jalan tengah biar gak jauh banget bedanya. So, voila! Dibuatlah dua-duanya lahir di tahun 1941.

Kocak juga sih kalau dipikir-pikir. Soalnya zaman sekarang sepertinya sudah lumrah kalau cowoknya lebih muda dari ceweknya. Tapi mungkin dulu masih belum banyak. Coba kalau Suzanna eranya sama ama bapak dan ibu gue, mungkin nggak bakal ada tuh drama ganti tahun lahir ini. Buat yang nggak tahu Suzanna, beda usia dia dan suaminya, Cliff Sanggra itu 17 tahun! Itu ibaratnya, lo nikah usia 16 tahun, trus hamil, dan punya anak usia 17, nah Cliff ini adalah anak pertama lo.

Tapi sudahlah, ngapain juga bahas Suzanna, nggak penting. Mending bahas bapak gue aja. Foto ini waktu dia kira-kira usia 22-24 tahun, masih di Marinir. Ini gue simpen di dompet gue. Jadi, ke mana pun gue pergi, dia selalu ikut. Tiap ambil duit di dompet, wajahnya yang pertama kali terlihat. Dia juga saksi bisu ketika dompet gue menangis karena nggak ada duit tersisa, hahahaha…

Anyway, bapak gue ganteng yak! Selamat ulang tahun ya, pak Baso…

… jangan dipendam…

Ulang tahun gue di tahun ini spesial karena bertepatan dengan Iduladha, jadi semua orang merayakannya. Kapan lagi coba, ulang tahun lo dirayakan seluruh dunia? Nggak semua orang bisa mengalaminya. Yekaaaaaaannn?

Nah, berhubung mbak Desy lagi berkunjung ke Jakarta dan dalam suasana Lebaran juga, akhirnya kepikiran untuk recreate foto keluarga yang dulu juga dibuat waktu Lebaran walau itu pas Idulfitri.

Gue lupa foto dulu itu tahun berapa, tapi yang jelas sih sebelum tahun 2010. Ya katakanlah sekitar 10 tahun yang lalu. Kalau kedua foto diperhatikan, terlihat jelas bahwa dalam 10 tahun, ibu Tjuk memutih dan menyusut sekali ya, hehehe…

Oya, berhubung tiap ngepos foto ibu trus banyak yang komen kulitnya yang putih kayak porselen, gue sekalian aja mau jelasin. Jadi ibu itu bukan putih dari sananya, tapi kena penyakit vitiligo. Itu loh, penyakit kulit yang bercak-bercak putih. Kulit ibu sih emang kuning (maklum, ada turunan Cina), trus bercak-bercak putih di ibu ini pintar milih tempat munculnya. Jadi nggak kelihatan ama publik.

Menurut dokter, salah satu pemicu munculnya penyakit ini karena stres tapi disimpan sendiri. Sepeninggal bapak, ibu memang selalu bilang baik-baik saja, dan segala sesuatu memang berjalan seperti biasa. Tapi ternyata, semua ibu pendam sendiri dan mulailah bercak-bercak putih itu muncul. Entah berapa banyak dokter kulit yang didatangi, berapa banyak obat yang dipakai. Lalu pada akhirnya, daripada mengembalikan warna kulit kembali ke keadaan normal, ibu akhirnya memutuskan untuk sekalian pakai krim pemutih saja. Seiring perjalanan waktu, sel pembuat pigmen tubuh ibu bekerja sangat lambat nyaris berhenti. Itulah mengapa kulit ibu putih sekali, plus sensitif sama sinar matahari.

Jadi begitulah ceritanya. Pesan gue, kalau kalian stres, carilah teman untuk diajak bicara, jangan simpan sendiri ya. Kesedihan harus dikeluarkan, jangan ditekan sampai bertumpuk-tumpuk yaaaa…

Social media & sharing icons powered by UltimatelySocial